Liputan6.com, Berlin - Hantaman hiperinflasi dapat memukul kawasan manapun, bahkan negara maju sekalipun bisa runtuh karenanya. Jerman yang sekarang dikenal sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Eropa bahkan pernah merasakan salah satu pukulan terparah hiperinflasi.
Harga-harga barang di Jerman pernah naik tak terhingga di masa Republik Weimar. Bayangkan saja, tingkat inflasi harian mencapai 21 persen per hari di mana harga kebutuhan harian masyarakat naik berlipat ganda hanya dalam hitungan hari.
Jerman dilanda hiperinflasi setelah kekalahannya dalam Perang Dunia ke-I. Akibat kekalahan tersebut, Jerman harus membayar biaya pemulihan negara-negara yang telah dirugikannya.
Advertisement
Sayangnya, pemerintah Jerman kala itu salah mengambil langkah dan memicu terjadinya peningkatan inflasi yang sangat tajam. Bahkan saat itu, uang dibakar untuk menyalakan tungku agar bisa memasak. Â Pasalnya, saat itu kayu bakar lebih mahal daripada uang tersebut.
Berikut ulasan mengenai kisah hiperinflasi yang melanda Jerman seperti dikutip dari Business Insider, BBC, deutschland.de, dan sejumlah sumber lain, Kamis (5/2/2015):
Awal terjadinya hiperinflasi
Awal terjadinya hiperinflasi
Setelah kalah pada Perang Dunia ke-I, pemerintah Jerman harus membayar biaya reparasi pada negara-negara yang menang. Meski begitu, Jerman tak boleh membayar dengan mata uangnya (saat itu Papiemark), yang telah melemah signifikan selama perang berlangsung.
Terlebih lagi mengingat Jerman mendanai perangnya dengan dana pinjaman. Untuk membayar biaya reparasi tersebut menggunakan mata uang lain selain Papiermark, pemerintah Weimar Jerman didorong untuk menukar mata uangnya dengan mata uang lain.
Saat pembayaran utang mulai jatuh tempo pada 1921. Kebijakan membeli mata uang asing dengan harga murah, membuat pemerintah harus mencetak banyak Papiemark.
Situasi tersebut membuat pemerintah hilang kendali dalam mencetak banyak uang dan membuat mata uangnya semakin tak berharga di tengah masyarakat.
Advertisement
Mata uang Jerman tak berharga
Mata uang Jerman tak berharga
Pada Agustus 1922 hingga Desember 1923 salah satu hiperinflasi terparah melanda Jerman. Pada 1923, republik Weimar di Jerman bahkan nyaris runtuh.
Uang kertas yang terus menerus membanjiri perekonomian Jerman menjadi hantaman pertama. Tingginya mata uang di tengah masyarakat membuat para pekerja berhenti yang berarti tak ada barang diproduksi.
Dengan begitu, masyarakat memegang banyak uang, tapi barang yang tersedia di pasaran sangat terbatas. Kondisi tersebut lantas memicu tingkat inflasi terus melesat tinggi, di mana harga-harga naik tak terkendali.
Bayangkan saja, harga roti yang awalnya senilai 250 mark pada Januari 1923 menjadi 200 juta mark pada November 1923. Mata uang Jerman jadi tak berharga.
Kisah-kisah menarik saat hiperinflasi melanda
Kisah-kisah menarik saat hiperinflasi melanda
Saat krisis hiperinflasi melanda Jerman, orang-orang mulai mengumpulkan gajinya di berbagai koper. Seseorang pernah mengaku tasnya tertinggal.
Uniknya, saat kembali, pencuri telah menjual kopernya, sementara uangnya masih ditinggalkan di tempat yang sama.
Seorang anak laki-laki juga pernah disuruh membeli dua bungkus roti. Di tengah perjalanan, dia menonton sepakbola. Saat dia sampai di toko, uangnya hanya bisa membeli satu bungkus roti saja karena harga-harga naik begitu cepat.
Tak hanya itu, seorang pria juga pergi ke Berlin untuk membeli sepasang sepatu. Sesampainya di sana, uangnya hanya bisa membeli secangkir kopi dan ongkos pulang.
Salah seorang wanita mengaku pernah menjual rumahnya dengan tujuan menggunakan uang hasilnya untuk biaya hidup. Beberapa minggu kemudian, uang hasil penjualan rumahnya bahkan tak cukup untuk membeli sebungkus roti.
Sementara para pegawai setiap hari melakukan negosiasi gaji sebagai bentuk penyesuaian.(Sis/Nrm)
Advertisement