Liputan6.com, New York - Harga minyak turun secara drasmatis sejak pertengahan 2014. Bank for International Settlements (BIS) menjelaskan, melimpahnya produksi dan lemahnya konsumsi minyak bukan satu-satunya pemicu, tapi tingginya utang perusahaan-perusahaan energi juga berkontribusi pada pelemahan harga minyak.
Mengutip laman Reuters, Senin (9/2/2015), BIS juga membandingkan kemerosotan harga minyak baru-baru ini, di mana harga emas anjlok ke bawah US$ 50 per barel dari level di atas US$ 100 per barel, dengan penurunan harga minyak pada 1996 dan 2008.
BIS menyimpulkan, berbeda dengan kejadian sebelumnya, produksi minyak saat ini nyaris mendekati ekspektasi dan konsumsi hanya tipis berada di bawah prediksi.
Advertisement
"Tajamnya penurunan dan perubahan harga yang signifikan dalam jangka waktu harian berpengaruh cukup besar pada aset keuangan," tutur para analis dari organisasi yang mewakili seluruh bank sentral di dunia.
Meskipun keputusan OPEC untuk tidak memangkas produksi merupakan kunci utama jatuhnya harga minyak, tapi sejumlah faktor lain ikut memperparah penurunan harga minyak saat ini. Apalagi, dalam beberapa tahun ini utang-utang perusahaan energi tercatat terus meningkat.
Organisasi yang berbasis di Basel tersebut menjelaskan, utang yang begitu tinggi dapat memberikan pengaruh buruk pada pasar minyak.
"Menghadapi tingginya jumlah utang, jatuhnya harga minyak melemahkan keseimbangan neraca keuangan di kalangan produsen dan memperketat kondisi kredit. Itu memperburuk kemerosotan harga minyak sebagai hasil dari penjualan aset minyak," seperti tertulis dalam laporan BIS.
Organisasi bank sentral global itu juga mengatakan, aliran dana yang berkurang merupakan hasil dari rendahnya harga minyak yang memberatkan risiko perusahaan.
Sejumlah perusahaan energi kemungkinan besar tak mampu membayar pembayaran bunga kredit dan membuat para pengusaha memompa minyak lebih banyak guna memperoleh pendapatan tambahan. Dalam kondisi itu, tentu saja pengurangan pasokan minyak dunia semakin sulit.
"Ini kemungkinan menjadi faktor yang muncul di negara berkembang di mana penguatan dolar juga memberikan hantaman lebih keras pada perusahaan-perusahaan berutang tinggi," tandasnya. (Sis/Ndw)