Sukses

Pengamat Usul 100 Miliarder Kakap RI Kena Pajak Progresif 30%

Sayangnya penyisiran pajak belum optimal mengarah pada konglomerat yang masuk dalam deretan orang-orang terkaya versi Forbes Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) makin agresif memungut setoran pajak melalui berbagai upaya.

Sayangnya penyisiran ini belum optimal mengarah pada konglomerat yang masuk dalam deretan orang-orang terkaya versi Forbes Indonesia.

Pengamat Ekonomi Indef, Enny Sri Hartati mengatakan, basis miliarder di Indonesia dibanding jumlah penduduk Indonesia sebanyak satu persen. Namun pendapatan kaum borjuis sama seperti menguasai 58 persen dari Gross Domestik Product (GDP).

"Tapi mereka bayar Pajak Penghasilan (PPh) cuma 5 persen. Sedangkan jumlah penduduk miskin dan rentan miskin ada 100 juta orang, jadi nggak mungkin sebagai objek pajak," ucap dia saat berbincang di Gedung DPR, seperti ditulis Rabu (11/2/2015).

Lebih jauh Enny mencatat, setoran pajak dari Wajib Pajak Perorangan tidak lebih dari Rp 100 triliun, sedangkan lebih dari Rp 300 triliun disumbang dari Wajib Pajak Badan atau Korporasi. Artinya, dia menilai, Wajib Pajak berpendapatan menengah ke atas berpeluang besar menghindar dari pajak.

"Makanya kita buat range, Wajib Pajak berpenghasilan di atas Rp 250 juta ditetapkan PPh progresif sampai 25 persen. Sedangkan yang masuk 100 orang kaya teratas misalnya versi Forbes Indonesia dipungut rata-rata 30 persen," paparnya.

Perhitungannya, lanjut dia, diukur dari pembukuan aset tahun ini dan tahun berikutnya. Dalam catatannya, aset tersebut masuk sebagai pendapatan kotor para konglomerat tersebut dan dikurangi Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga diperoleh pendapatan per tahun.

"Lalu dikalikan 30 persen misalnya, maka akan diperoleh potensi penerimaan pajak lebih dari Rp 40 triliun. Ambil pesimisnya Rp 30 triliun saja, sudah bisa berkontribusi cukup besar ke penerimaan pajak," ucap Enny.

Sambung dia, Ditjen Pajak perlu mengembangkan sistem perpajakan yang mampu  meminimalisir penyelewengan pajak dari yang saat ini berlaku self assessment. Sistem tersebut dibuat standardisasi dari lembaga penilai pajak.

"Jadi nanti bisa dibandingkan, orang yang punya 10 apartemen, lamborgini tapi bayar pajaknya cuma sekian juta, bisa terdeteksi. Tapi memang butuh data terintegasi, dan single identity. Masalahnya sekarang satu orang punya banyak kartu identitas, dan ini problem yang harus dibenahi," saran Enny.(Fik/Nrm)