Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung menangkap mantan Direktur Utama (Dirut) Bank DKI Winny Erwindia pada September tahun lalu terkait kasus dugaan perkara korupsi di Bank DKI terkait pembiayaan pada PT Energy Spectrum untuk pembelian pesawat udara jenis Air Craft ATR 42-5000 dari Phoenix Ltd Singapura.
Menurut praktisi perbankan Romeo Rissal, kasus ini merupakan peringatan atau lampu merah bagi manajemen perbankan Indonesia, khususnya bagi jajaran direksi.
Itu lantaran ternyata sebuah keputusan yang dilakukan oleh direktur bank bisa berdampak ke pengadilan meski dirinya sudah tidak menempati posisi tersebu.
"Coba bayangkan kalau seorang Dirut di manapun, yang dalam lembaganya sudah ada tingkatan tanggung jawab, mulai dari setiap direktur dan general manajer. Lalu di belakang ada permasalahan, itu jadi beban Dirut. Ini pertanyaan penting bagi perbankan," tuturnya di Jakarta, Sabtu (14/2/2015).
Pria yang menjadi saksi ahli bidang perbankan dalam kasus tersebut juga mengatakan, jika kasus yang dialami Winny berlanjut, maka ini merupakan malapetaka bagi perbankan Indonesia. Pasalnya, yang dipermasalahkan hanya bagian proses yang kurang lengkap.
"Sekarang yang dipermasalahkan bagian yang kurang penting dalam proses yaitu debt equity ratio, rasio utang dengan modal. Memang ada pedomannya utang itu cuma 2,5 kali dari modal. Pertanyaan saya, berapa persen perusahaan di indonesia yang mampu untuk itu," terangnya.
Kasus ini bisa menjadi malapetaka, karena ke depan perusahaan Indonesia tak akan mampu mendapatkan proyek di negeri sendiri karena modalnya tak cukup. Sebagai mantan direktur di BI, Romeo mengatakan, bank seharusnya tidak mempersulit masyarakat dan jangan terlalu fokus pada persyaratan.
"Bukan berarti persyaratan dibebaskan. Misal ketika debt equity ratio tidak terpenuhi, bisa ga diamankan dengan cara lain, banyak caranya. Misal Anda beli mobil, mobil dikontrak kedutaan, nanti kedutaan bayarnya ke bank langsung. Tidak ada masalah," paparnya.
Khusus kasus Winny, Romeo menilai setiap perusahaan sudah membagi tugas dan tanggungjawab dengan sangat jelas. Lalu jika salah satu proses dikatakan bermasalah, akan menjadi tak adil jika semuanya serta merta dilimpahkan pada Dirut.
Jika kondisinya seperti, maka tidak ada direksi yang aman karena kreditnya bisa dimainkan pihak lain. Yang terpenting adalah, saat ada prosedur yang tidak terpenuhi seperti dalam kasus Winny, dirinya telah mengambil opsi lain untuk memenuhi kekurangan tersebut.
"Kalau bank harus memenuhi 100 persen, di pengadilan saya katakan, saya belum pernah ketemu bank yang bisa penuhi 100 persen, dari tujuh syarat, lima terpenuhi ya itu sudah bagus, asal tidak fatal," ujarnya.
Selama ini, diakui Romeo, Winny tidak terbukti menerima gratifikasi, aliran uang untuknya, atau misalnya jumlah kredit ditentukan Dirut. Oleh sebab itu, kasus Winny seharusnya jadi perhatian besar bagi industri perbankan.
"Jangan sampai ada nuansa pemikiran kalau kredit macet itu dosa direksi. Karena kalau dia macet, bank masih melihat profit, dividen atau cost jangka panjang. Bahkan di bank besar, kredit itu bisa dipusokan dianggap tidak ada," pungkasnya.