Liputan6.com, Jakarta - Para pengembang yang tergabung dari Realestate Indonesia (REI) mengaku kecewa dengan revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253/PMK.03/2008 terkait Pajak Penghasilan (PPh) barang sangat mewah.
Dalam aturan itu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menurunkan kriteria rumah, apartemen, kondominium yang masuk kategori barang super mewah dari Rp 10 miliar menjadi Rp 2 miliar.
Menurut Ketua Dewan Perwakilan Daerah Realestate Indonesia (DPD REI) DKI Jakarta, Amran Nukman, Ditjen Pajak seharusnya memperbanyak dan membidik Wajib Pajak Perorangan dan Badan yang belum tersentuh pajak. Bukan Wajib Pajak yang sudah taat membayar setoran, namun terus dikejar menggunakan cara lain dengan menambah atau memperluas jenis pajak.
Advertisement
"Tidak kreatif sekali, Wajib Pajak yang belum dipungut dibiarkan saja, tapi pengembang yang jelas-jelas rajin bayar pajak malah terus ditekan. Ini sangat memberatkan," keluh dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Selasa (17/2/2015).
Dalam perubahan PMK ini, salah satu yang kena pemungutan PPh pasal 22 barang mewah adalah sektor properti. Contohnya rumah beserta tanah, semula dalam aturan ditetapkan PPh untuk harga jual atau pengalihan lebih dari Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500 meter persegi, kini menjadi lebih dari Rp 2 miliar dengan luas bangunan lebih dari 400 meter persegi.
Selain itu ada apartemen, kondominium dan sejenisnya, dari patokan harga jual atau pengalihan lebih dari Rp 10 miliar atau luas bangunan 400 meter persegi, diusulkan penurunan harga jual menjadi Rp 2 miliar atau luas bangunan lebih dari 350 meter persegi.
Amran mengatakan, pengenaan PPh 5 persen atas penjualan barang super mewah kepada pengembang tentu akan berdampak terhadap konsumen. Lantaran pengembang otomatis bakal menaikkan harga jual rumah.
"Kalau dipungut PPh barang mewah 5 persen dari Rp 2 miliar, itu artinya kami keluarkan pajak Rp 100 juta per unit. Uang segitu besar sekali, dan pastinya yang kena konsumen. Otomatis kami naikkan harga jual 5 persen juga," ucap dia.
Amran membela, pemerintah semestinya mengenakan pajak tersebut untuk rumah seharga Rp 8 miliar sampai Rp 9 miliar yang dikategorikan sebagai rumah sangat mewah. "Sedangkan rumah harga Rp 2 miliar saat ini target pasarnya kalangan menengah. Jadi tolong dipikirkan dampaknya buat kami dan konsumen," papar Amran.
Kementerian Keuangan memang tengah sibuk merevisi sejumlah peraturan terkait pajak supaya hasil yang dicapai lebih maksimal. Hal ini mengingat dalam postur anggaran pendapatan belanja negara perubahan (APBN-P) 2015 penerimaan pajak non migas disepakati Rp 1.439,7 triliun. Target penerimaan perpajakan ini naik 11,5 persen dari APBN 2015. (Fik/Ahm)