Liputan6.com, Jakarta -
Pemerintah menyatakan upaya penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tidak bisa dilakukan dengan cara instan. Pasalnya masalah utama Indonesia adalah defisit transaksi berjalan.Â
Â
"Untuk memperbaikinya (rupiah) nggak ada yang instan. Kita perlu perbaiki kondisi makro ekonomi," ungkap Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro di kantornya, Jakarta, Jumat (6/3/2015).Â
Â
Pemerintah, dia mengaku, telah mempersempit defisit anggaran dengan memangkas habis subsidi energi, pengalokasian belanja lebih produktif, rasio utang terjaga di level 24,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).Â
Â
"Tugas kita menurunkan defisit transaksi berjalan. Tapi defisit kita di tahun ini masih sekira 3 persen karena ada pembangunan infrastruktur dan investasi yang butuh impor komponen. Jadi impor tinggi, sulit defisit transaksi berjalan di bawah itu," terang dia.Â
Â
Paska pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015, Bambang menambahkan, ada pencairan DIPA di Maret ini, maka pemerintah akan fokus pada kebijakan mengurangi defisit transaksi berjalan.Â
Â
"Kita ingin mendorong ekspor, mengendalikan impor baik barang dan jasa. Karena neraca pembayaran (defisit neraca jasa dan pendapatan), defisit transaksi berjalan kita sulit turun," paparnya.Â
Â
Namun di sisi lain, Bambang menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah dapat mendorong pertumbuhan manufaktur dan menggenjot pariwisata atau kunjungan wisatawan mancanegara (wisman).Â
Â
"Momentum pelemahan rupiah bisa kita manfaatkan untuk meningkatkan manufaktur dan perbaiki tourism. Kan murah tuh sekarang 1 dolar AS nilanya jadi Rp 13.000, sedangkan dulu cuma Rp 10.000 per dolar AS," tandas dia. (Fik/Nrm)
Â