Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) melihat bahwa industri perbankan masih cukup kuat menghadapi ancaman pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia di tahun ini. Rasio angka permodalan masih cukup tinggi dan kredit bermasalah masih jauh dari batas bawah yang ditentukan oleh BI.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara menjelaskan, pada periode Januari 2015, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) industri perbankan tercatat sebesar 20,84 persen. Angka tersebut mengalami peningkatan jika dibanding dengan periode sebulan sebelumnya yang ada di level 19,40 persen. "Angka itu juga jauh di atas ketentuan minimum yaitu 8 persen," jelasnya, Rabu (18/3/2015).
Untuk rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan), Tirta melanjutkan, industri perbankan nasional juga masih terjaga di level 2 persen. Level tersebut tak mengalami peningkatan jika dibanding dengan periode satu bulan sebelumnya. BI mensyaratkan rasio kredit bermasalah perbankan harus berada di bawah level 5 persen.
Dari sisi fungsi intermediasi, pertumbuhan kredit tercatat 11,5 persen. Memang mengalami penurunan jika dibanding dengan periode Desember 2014 yang tercatat di level 11,6 persen. Namun Tirta menyebutkan, berdasarkan survei BI kepada industri perbankan, sebagian besar bankir yang disurvei yakin bahwa pertumbuhan kredit akan membaik di bulan-bulan berikutnya.
Industri perbankan melihat bahwa pertumbuhan kredit akan terdorong oleh permintaan akan kredit baru dari sektor konstruksi sejalan dengan banyaknya proyek pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.
"Pertumbuhan kredit sepanjang tahun ini diperkirakan akan di kisaran 15 persen hingga 17 persen," tambahnya. Level tersebut diharapkan bisa mendukung pertumbuhan ekonomi pemerintah yang sebesar 5,8 persen. BI sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi bakal berada di angka 5,4 persen hingga 5,8 persen.
Pendorongnya adalah pertumbuhan investasi yang meningkat seiring dengan realisasi berbagai proyek infrastruktur dan perbaikan iklim investasi. Selain itu tentu saja konsumsi masyarakat yang terus meningkat.
BI melihat bahwa ancaman target pertumbuhan ekonomi cukup besar. Ancaman tersebut berasal dari eksternal, contohnya perekonomian China diperkirakan terus melambat seiring penurunan investasi sehingga membuat pencapaian target ekspor nasional lebih berat. Penurunan harga komoditas juga membuat ekspor terkontraksi. (Gdn)