Liputan6.com, Jakarta - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melanjutkan upaya revisi Undang-Undang (UU) Lalu Lintas Devisa Nomor 24 Tahun 1999. Hipmi memandang revisi tersebut sangat penting untuk menopang nilai tukar rupiah agar tetap perkasa dan berdaulat di Tanah Air.
Ketua Umum Hipmi, Bahlil Lahadalia menjelaskan, pelemahan rupiah terus terulang sebab belum terdapat regulasi yang mampu memperkuat posisi rupiah selama ini. “Mata uang kita sangat rentan terombang-ambing oleh arus keluar-masuk modal. Makanya, UU Lalu Lintas Devisa ini harus segera direvisi,” ujarnya di Jakarta, Senin (23/3/2015)
Bahlil mengatakan, draft revisi UU ini dulunya sudah digarap oleh DPR periode sebelumnya. Namun, revisi tersebut terhenti dan belum dilanjutkan pengesahannya ke rapat paripurna.
Oleh karena itu, Hipmi mendorong agar revisi UU ini dilanjutkan. Bahlil mengatakan, dunia usaha memerlukan stabilitas nilai tukar untuk kepentingan rencana investasi dan proyeksi biaya operasional perusahaan. Hal ini disebabkan ketergantungan bahan baku impor bagi industri di dalam negeri masih sangat kuat.
Selain paling liberal sedunia, UU ini merupakan salah satu UU Devisa peninggalan era IMF (International Monetery Fund). Hal ini membuat pasar valuta asing (valas) dan pasar modal Indonesia mudah terpukul.
“UU ini konteksnya dulu era liberalisasi. Kita butuh sekali memperkuat pasar modal dan menaikkan kepercayaan asing. Sekarang konteksnya sudah lain. Kita butuh stabilisasi nilai tukar,” papar Bahlil.
Hipmi mengatakan, saat ini pengaturan devisa hanya sebatas Peraturan Bank Indonesia (PBI). PBI ini dinilai masih sangat lemah sebab tidak mampu menahan lajunya capital outflow.
Akibatnya, liberalism UU Devisa ini hanya dinikmati oleh para pemodal besar dan pihak luar. Sebagaimana diketahui, saat ini Bank Indonesia memiliki PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI no.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012.
Di sana diwajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang, serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). Namun, PBI tersebut terbukti tidak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri.
Berdasarkan data yang diolah, Hipmi memperkirakan larinya devisa ke luar negeri akan terus meningkat dan menguntungkan bagi negara tetangga seperti Singapura.
Pada 2016, dana orang kaya Indonesia dengan aset finansial di atas US$ 1 juta yang diparkir di luar negeri diperkirakan akan mencapai sekitar US$ 250 miliar. Dana tersebut dalam bentuk deposito, saham, dan fixed income maupun aset properti real estate.
”Bayangkan kalau dana-dana ini masuk ke sistem keuangan kita. Tentu akan memacu lending rate yang lebih kompetitif dan memperkuat likuiditas perbankan kita,” tutup Bahlil. (Yas/Gdn)
Atasi Pelemahan Rupiah, Ini Permintaan Pengusaha ke DPR
Peraturan Bank Indonesia dinilai masih sangat lemah sebab tidak mampu menahan lajunya capital outflow.
Advertisement