Sukses

Rupiah Tembus 13.000 per Dolar AS karena BI Kurang Peka

Akibat pelemahan kurs rupiah, masyarakat terkena imbasnya seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyatakan keprihatinannya atas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sempat menembus level Rp 13.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Pihaknya menilai pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kurang peka terhadap pergerakan kurs yang sudah memberi sinyal pelemahan sejak akhir 2013.

Demikian disampaikan Anggota DPD RI 2014-2019, Ajiep Padindang saat Diskusi Bincang Senator 2015 "Gejolak dan Masa Depan Rupiah" di Brewerkz Restaurant & Bar, Jakarta, Minggu (29/3/2015).

Ajiep dari Komite IV DPD mengaku pernah mengglar rapat kerja dengan Gubernur BI Agus Martowardojo dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada akhir Februari lalu. DPD mengingatkan bahwa kurs rupiah berpotensi tembus Rp 13.000 per dolar AS.

"Tapi respons Gubernur BI kurang peka. Bahkan pada rapat saat itu, pemerintah tidak punya kebijakan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah meski ada peluang rupiah bergerak Rp 14.000 per dolar AS," ujar dia.

Hingga akhirnya pemerintah dan BI, kata Ajiep, tetap mematok nilai tukar rupiah Rp 12.500 per dolar AS dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. "Tapi justru Gubernur BI salah. Kami yang melakukan kajian budget office penyelenggaraan keuangan merasa prihatin dan khawatir dengan kondisi tersebut," paparnya.

Lalu apa dampaknya? Kata Ajiep, akibat pelemahan kurs rupiah, masyarakat terkena imbasnya seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Premium dan Solar per 1 April ini. Padahal harga minyak dunia tidak mengalami kenaikan cukup signifikan.

"Dampaknya BBM jadi naik akibat kurs dan masih akan ada dampak lainnya. Apa kebijakan pemerintah yang bisa secara signifikan menguatkan kurs rupiah, selain dari intervensi jangka pendek oleh BI dengan menguras cadangan devisa," pungkas dia.



Tak sendiri
Ekonom PT Bank Sentral Asia Tbk (BCA), David Sumual menjelaskan, rupiah bukan satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Beberapa mata uang negara lain juga mengalami pelemahan yang cukup.

Ia mencontohkan, pelemahan yen terhadap dolar AS pada tahun lalu mencapai 20 persen." Euro bahkan lebih dalam lagi, belum lagi negara Afrika Selatan dan Rusia," jelasnya dalam acara Bincang Senator dengan tema 'Gejolak dan Masa Depan Rupiah' di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (29/3/2015).

Pelemahan hampir seluruh mata uang dunia terhadap dolar AS tersebut karena saat ini The Fed sedang menjalankan kebijakan pengetatan moneter. Kejadian ini berkebalikan dengan 2008 hingga 2012 dimana The Fed menjalankan kebijakan moneter yang longgar. "Apalagi dalam waktu dekat The Fed akan menaikkan suku bunga, pelemahan bisa lebih dalam lagi" tambahnya.

Ekonom PT Bank Sentral Asia Tbk (BCA), David Sumual menjelaskan, rupiah bukan satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Beberapa mata uang negara lain juga mengalami pelemahan yang cukup.

Ia mencontohkan, pelemahan yen terhadap dolar AS pada tahun lalu mencapai 20 persen." Euro bahkan lebih dalam lagi, belum lagi negara Afrika Selatan dan Rusia," jelasnya dalam acara Bincang Senator dengan tema 'Gejolak dan Masa Depan Rupiah' di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (29/3/2015).

Pelemahan hampir seluruh mata uang dunia terhadap dolar AS tersebut karena saat ini The Fed sedang menjalankan kebijakan pengetatan moneter. Kejadian ini berkebalikan dengan 2008 hingga 2012 dimana The Fed menjalankan kebijakan moneter yang longgar. "Apalagi dalam waktu dekat The Fed akan menaikkan suku bunga, pelemahan bisa lebih dalam lagi" tambahnya.

David melanjutkan, seharusnya pelemahan rupiah bisa tidak terlalu dalam jika fundamental ekonomi dalam negeri cukup baik. Defisit transaksi berjalan cukup besar. BI mencatat defisit transaksi berjalan pada 2014 kemarin sebesar US$ 26,2 miliar atau 2,95 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, level tersebut mengalami penurunan. Di 2013, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai US$ 29,1 miliar atau 3,18 persen dari  PDB.

Selain itu, utang luar negeri milik pemerintah, Bank Indonesia maupun swasta juga terus meningkat. Sebagain contoh,  pada Januari 2008, utang luar negeri swasta tercatat US$ 60 miliar. Jumah tersebut menjadi US$ 182 miliar tujuh tahun kemudian. Angka ini melampaui ULN pemerintah dan BI yang tercatat US$ 136 miliar. "Selain itu, ekspor terus mengalami penurunan," tambahnya. (Fik/Gdn)