Liputan6.com, Jakarta - Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membangun proyek listrik 35 ribu megawatt (MW) membawa angin segar bagi para pelaku tambang batu bara. Saat harga batu bara jatuh, bisnis proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang menjadi incaran para pengusaha batu bara.
"Mengawinkan bisnis batu bara dengan PLTU mulut tambang merupakan salah satu yang menarik. Dari 35 ribu MW, berapa sih yang PLTU? Kami swasta ingin berkontribusi di sektor kelistrikan," kata Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Senin (6/4/2015).
Baca Juga
Pandu mengaku pengusaha sangat mendukung proyek 10 ribu MW tersebut. Pasalnya, selama ini sebagian besar batu bara yang diproduksi di Indonesia diekspor karena rendahnya penyerapan pasar dalam negeri.
Advertisement
Dengan adanya proyek ini, Indonesia bisa memanfaatkan batu bara dari perut bumi untuk melistriki rakyat dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Jika dari 35 ribu MW itu setengahnya pembangkit batu bara, sehingga dibutuhkan 250 juta ton. Indonesia sekarang ini saja produksi 400 juta ton," terang dia.
Sementara itu, untuk ikut serta dalam proyek PLTU tersebut, para pengusaha mengharapkan pemerintah memberikan insentif sehingga bisnis PLTU mulut tambang menjadi lebih menarik.
"Kami akan hitung lagi, berapa return-nya? Kalau hanya 10 persen-12 persen itu tidak menarik, yang menarik itu 15 persen ke atas. Bagaimana policy-nya itu yang kami tunggu dari pemerintah," tuturnya.
Harga batu bara
Pandu yang menjabat sebagai Direktur Keuangan PT Toba Bara Sejahtra Tbk (Toba Bara) ini menyebutkan, dalam dua tahun terakhir harga batu bara telah turun dari US$ 100 per ton hingga di bawah US$ 60 per ton. Salah satu penyebabnya yaitu melimpahnya pasokan batu bara di pasar internasional.
"Salah satu sumber terbesar adalah sisi over suplai dan itu mungkin dari Indonesia sendiri," ujar Pandu.
Jika dilihat dalam lima tahun terakhir, lanjut dia, pertumbuhan produksi batu bara Indonesia mencapai 10-15 persen. Selama kurun waktu dua tahun terakhir, produksi batu bara nasional naik dari 350 juta ton menjadi 420 juta ton.
Sedangkan dari sisi permintaan dari negara-negara seperti Jepang dan India, menurut Pandu, sudah cukup baik. Meski ada pelemahan permintaan di China.
"Jadi kalau dilihat, ke depan ini sumber pelemahan harga batu bara adalah dari sisi suplai," pungkasnya.
 Rendahnya harga kian memukul industri batu bara di Tanah Air. APBI mencatat sekitar 40 persen tambang di Indonesia telah menghentikan kegiatan produksi.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terhindari. Tambang ditinggalkan para pekerja, yang tersisa hanya 1-2 orang yang menjaga perusahaan. Pandu menyebutkan, penghentian operasi paling banyak terjadi Sumatera yaitu mencapai 50 persen dari total tambang batu bara di wilayah itu.
"Kalau di Kalimantan 20-30 persen sudah stop produksi," ujar Pandu. (Ndw)