Liputan6.com, Jakarta - Meskipun telah menaikkan harga jual gas Elpiji non subsidi ukuran 12 kilogram (kg), PT Pertamina (Persero) masih membukukan kerugian. Alasannya, untuk memmenuhi kebutuhan Elpiji dalam negeri, Pertamina harus impor.
Pengamat Kebijakan Energi‎, Sofyano Zakaria menjelaskan, untuk memenuhi 60 persen kebutuhan Elpiji, termasuk untuk golongan non subsidi, Pertamina harus impor. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan biaya impor dan lainnya, maka harga Elpiji 12 kg saat ini masih di bawah keekonomiannya.
Sofyano pun menjabarkan, jika mengacu kepada patokan harga impor gas Pertamina yaitu Contract Price Aramco (CP Aramco), maka jika dikonversikan ke dalam rupiah akan berkisar di level Rp 7.000 per kg. Nilai tersebut nantinya masih akan ditambah dengan ongkos angkut, marjin Stasiun Pengisian Bulk ELpiji (SPBE), marjin agen, marjin Pertamina, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan biaya-biaya lain.
"Menurut perhitungan saya, nilai pantas harga jual Elpiji non subsidi ke masyarakat ada di kisaran Rp 13.000 per kg atau dikisaran Rp 150.000 per tabung," kata dia Jumat (3/4/2015).
Artinya, kenaikan harga gas Elpiji yang dilakukan pada 1 April 201 kemarin belum bisa membuat Pertamina balik modal. Untuk diketahui, Pertamina menaikkan harga Elpiji 12 kg sekitar Rp 6.500 per tabung hingga Rp 8.000 per tabung. Dengan demikian harga per tabung menjadi Rp 141 ribu per tabung dari sebelumnya Rp 134.700 per tabung.
Sofyano menambahkan, jika Pertamina harus menjual rugi Elpiji yang non subsidi tersebut maka sebagai perusahaan yang pemegang sahamnya adalah Pemerintah, ‎melanggar peraturan perseroan.
Sebagai Perusahaan Persero dan sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menurut Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan, Pertamina wajib memupuk keuntungan. Selain itu, menurut Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, perusahaan yang bernaung di bawah BUMN wajib mengejar keuntungan termasuk ketika melakukan tugas public service obligation (PSO) dari Pemerintah.
‎"Jadi jika Pemerintah atau pihak legislatif memaksa Pertamina menjual rugi Elpiji 12 kg dan atau jika pertamina sengaja secara terus-menerus menjual Elpiji 12 kg dengan rugi maka Pemerintah dan atau Pertamina dapat dinyatakan melanggar Undang-Undang," paparnya.
Ditegaskan Sofyano, sepanjang Elpiji 12kg tidak ditetapkan secara hukum oleh Pemerintah sebagai elpiji yang disubsidi Pemerintah, maka Pemerintah tidak boleh melakukan intervensi terhadap Pertamina dalam nenetukan harga Elpiji 12 kg dalam bentuk apapun, walau dengan pertimbangan untuk kepentingan masyarakat banyak sekalipun.‎
Untuk diketahui, Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg sebesar Rp 6.300- Rp 8.000 per tabung mulai 1 April 2015. Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang mengatakan, dengan kenaikan tersebut maka harga elpiji 12 kg menjadi Rp 141 ribu, dari Rp 134.700 per tabung. "Kenaikan antara Rp 6.300-Rp 8.000 tergantung daerah atau jauh dekatnya dari agen," katanya.
Bambang mengungkapkan, kenaikan harga dilakukan atas pertimbangan acuan harga elpiji CP Aramco yang juga mengalami kenaikan dan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pada Maret, kurs tercatat Rp 13.084 per dolar AS, naik dari bulan sebelumnya Rp 12.750 per dolar AS. "CP Aramco mixed, pada Maret US$ 477 per ton, sedangkan pada Februari US$ 467 per ton dan Januari US$ 451 per ton," ungkapnya.
Bambang berharap, masyarakat tidak meributkan kenaikan harga tersebut. Pasalnya, elpiji 12 kg merupakan barang non subsidi seperti produk BBM Pertamina Pertamax Cs.
"Sebenarnya sama dengan Pertamax, harusnya tidak ribut. Jadi kita buat dua Jenis Pertamax tinggi tidak masalah karena masyarakat bisa pakai Premium. Elpiji 12 kg naik harusnya juga tidak masalah sebab ada elpiji 3 kg," pungkasnya.
(Yas/Gdn)
Harga Elpiji 12 Kg Naik, Pertamina Masih Rugi?
Menurut Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, perusahaan pelat merah wajib mengejar keuntungan.
Advertisement