Sukses

Larangan PNS Rapat di Hotel Dicabut, Ini Kata Pengamat

Sempat menuai protes, Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi akhirnya mencabut aturan larangan PNS rapat di hotel.

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Miftah Thoha mengaku kecewa dengan keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Yuddy Chrisnandi yang akhirnya mencabut aturan larangan PNS rapat di hotel.

Dalam peraturan baru, ada syarat atau perlonggaran bagi PNS yang bisa menyelenggaraan rapat di hotel. Padahal Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) mencatat penghematan anggaran atas larangan Kementerian Lembaga melakukan kegiatan di luar kantor mencapai Rp 5,12 triliun hanya dalam dua bulan.

"Cuma karena pengusaha hotel mengeluh, aturannya sekarang diubah. Waktu lima bulan lalu, bunyi larangan rapat nyaring sekali. Pencitraan saja," kata Miftah saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat (3/4/2015).

Tak hanya itu, Miftah juga menyoroti kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang justru menaikkan uang muka mobil pejabat saat reformasi fiskal tengah berjalan yang dimulai dari penghapusan subsidi BBM Premium.

Pengamat Politik dan Birokrasi itu menuturkan, rakyat sudah memperhatikan kinerja Jokowi dan Kabinet Kerja selama hampir lima bulan pemerintahan berjalan.

"Dalam lima bulan ini, Jokowi enggak tegas, berbeda pandangan dengan para menterinya, janji enggak ditepatin untuk penghematan. Rakyat kan enggak bisa dibohongin. Ini bisa mengancam karirnya," tegasnya.


Harga premium mulai Senin (19/1/2015) turun menjadi Rp. 6.600 per liter. Namun, di beberapa SPBU ada yang menurunkan harga hanya menjadi Rp. 6.700 per liter. (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Di era pemerintahan Jokowi, dia menyoroti kebijakan harga BBM yang sudah berapa kali mengalami kenaikan dan penurunan. Sehingga menyusahkan rakyat.

Miftah memberi saran, sebelum memutuskan sebuah kebijakan, pemerintah seharusnya mengkaji dan mempelajari betul isi dari kebijakan tersebut.

Dijelaskan dia, ada tahapan dalam pengambilan kebijakan, yakni dikaji, lalu diujicoba, diteliti untung ruginya oleh sebuah Litbang di Kementerian/Lembaga. Sayangnya Litbang ini tidak pernah dimanfaatkan oleh para menteri.

"Jadi mestinya lima bulan ini, kinerja menteri dievaluasi Presiden. Dan kinerja Presiden serta Wakil Presiden dievaluasi oleh rakyat melalui DPR," tukas Miftah.  (Fik/Ndw)