Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Politik dan Birokrasi, Miftah Thoha menilai pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terkesan buru-buru dalam memutuskan sebuah kebijakan. Faktanya yang terjadi adalah ketidakkonsistenan dalam penerapan di lapangan.
Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) itu kecewa dengan kinerja Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Yuddy Chrinandi yang akhirnya mencabut aturan larangan PNS rapat di hotel.
Dalam peraturan baru, ada syarat atau pelonggaran bagi PNS yang bisa menyelenggarakan rapat di hotel. "Karena pengusaha hotel mengeluh, aturannya sekarang diubah. Harusnya kalau belum siap jangan dipublikasi dulu. Pencitraan saja," kata Miftah saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat (3/4/2015).
Dia memberi saran, sebelum memutuskan sebuah kebijakan, pemerintah seharusnya mengkaji dan mempelajari betul isi dari kebijakan tersebut.
Dijelaskan dia, ada tahapan dalam pengambilan kebijakan, yakni dikaji, lalu diujicoba, diteliti untung ruginya oleh sebuah Litbang di Kementerian/Lembaga. Sayangnya Litbang ini tidak pernah dimanfaatkan oleh para menteri.
"Dalam lima bulan ini, Jokowi enggak tegas, berbeda pandangan dengan para menterinya, janji enggak ditepatin untuk penghematan. Rakyat kan enggak bisa dibohongin. Ini bisa mengancam karirnya," cetus Miftah.
Terpisah, Manajer Penelitian dan Monitoring Indonesia For Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti mengaku, ketidakkonsistenan kebijakan yang diambil pemerintah bisa mengakibatkan Jokowi kehilangan dukungan dari publik.
"Jokowi akan kehilangan dukungan publik dan berakhir pada hilangnya kepercayaan publik terhadap Jokowi karena kebijakan yang dikeluarkan bersifat reaktif ketimbang berhitung jangka panjang," ujarnya.
Advertisement
Rachmi ikut buka suara mengenai kebijakan kenaikan uang muka mobil bagi pejabat. Dia menilai, di tengah ketidakpastian ekonomi, seharusnya DPR menahan diri untuk tidak menyusun anggaran yang mementingkan diri sendiri.
"Fraksi-fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menggalang penolakan kenaikan DP mobil agar kebijakan fiskal pemerintah Jokowi semakin mendapat dukungan publik," tambahnya.
Jika tidak, sambung dia, publik akan semakin mempertanyakan komitmen pemerintah dan DPR dalam memperbaiki defisit fiskal seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS)
"Jika terus defisit, pemerintah dan DPR telah mengkhianati rakyat yang telah dijadikan korban dalam agenda penyelamatan defisit fiskal melalui pencabutan subsidi energi," ucapnya.
Rachmi menyarankan, pemerintah dan DPR mengeluarkan juklak dan junis secara detail pembatasan anggaran kesekretariatan lembaga Kementerian, DPR, maupun non Kementerian. Menjelaskan didalamnya prosentase penghematan dari setiap kegiatan di budgeting supaya terukur secara pasti dan transparan.
"Jangan sampai kebijakan itu tajam ke rakyat tapi tumpul ke dalam sendiri. Komitmen penghematan harus dimulai dari DPR dan pemerintah," pungkasnya. (Fik/Ndw)