Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan menjamin bahwa kebijakan penghapusan atau pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak akan mengurangi pendapatan daerah dari pajak tersebut. Alasannya, penghapusan atau pengurangan PBB ini hanya menyasar kalangan tidak mampu dan masyarakat berpenghasilan rendah.
"Pemerintah daerah dijamin tidak kehilangan pendapatan asli daerah (PAD) diterapkannya kebijakan ini," ujarnya di Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Jakarta, Senin (6/4/2015).
Selain itu, dia juga menjamin bahwa kebijakan ini nantinya juga tidak akan mengurangi pendapatan negara dari PBB. Pasalnya, porsi PBB dalam penerimaan negara dari sektor pajak terhitung kecil, hanya sebesar 3,5 persen.
"Sumber pendapatan negara dari PBB hanya 3,5 persen, di luar PPh dan PPN. Dan dari 3,5 persen tidak berkurang semuanya atau 1 persen saja.
PBB porsinya kecil jadi tidak mengurangi pendapatan negara," lanjutnya.
Oleh sebab itu, masyarakat diminta tidak perlu khawatir akan penurunan pendapatan negara akibat kebijakan ini. Terlebih kebijakan tersebut juga ditujukan agar mengurangi beban masyarakat tidak mampu.
"Kebijakan ini sebagai kehendak kita supaya tanah tidak menjadi sesuatu hal yang membebani mereka yang mendiaminya," kata dia.
Selain itu, untuk masalah Jual Objek Pajak (NJOP), Ferry menyatakan bahwa kedepannya pemerintah juga berencana mengkoordinasikan hal ini di bawah Kementerian Keuangan, sehingga tidak dibawah pemerintah daerah (Pemda) semata.
"Dalam penerapan NJOP ini, nantinya harga tanah akan di up date per tahun," tandasnya.
Sebelumnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang sedang mengkaji reformulasi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi masyarakat golongan tidak mampu. Reformulasi ini dilakukan sebagai bentuk pengendalian pemerintah terhadap harga tanah yang menjadi kebutuhan serta agar NJOP mendekati harga pasar.
Selain itu, PBB sejatinya adalah bea yang dikenakan atau diwajibkan bagi subjek pajak, bukan pada objek pajak seperti tanah dan bangunan. Dengan demikian, Ferry berpendapat perlu dipertimbangkan kemampuan subjek pajak untuk membayar PBB, yaitu lewat cara diberikan keringan atau penghapusan.
"Jadi meski seseorang tinggal di lahan premier, tapi tetap akan disesuaikan dengan kemampuan," lanjut dia.
Dia menjelaskan, nantinya subjek pajak yang akan mendapatkan keringanan atau penghapusan PBB antara lain pekerja sektor informal, pensiunan, POLRI, TNI, anggota veteran, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), masyarakat pemegang kartu keluarga sejahtera (KSS) dan rumah untuk kepentingan sosial seperti panti jompo dan panti asuhan.
"Kita pakai data dari Kementerian Sosial. Pengurangan kita lakukan sesuai dgn kemampuan subjek pajak. Alternatifnya antara penghapusan atau pengurangan," kata dia.
Ferry juga membantah penerapan kebijakan tersebut lantaran hingga saat ini banyak subjek pajak yang tidak membayarkan PBB kepada negara.
"Saat pembebasaan sempat berpikir menjadi pajak terhutang. Jadi saat dia jual lahan dan proses sertifikat balik namanya baru dibayar, tetapi ini menyangkut orang tua, nanti tidak tenang menghadapi kehidupan. Tapi fomulasinya mencari yang tepat, yang penting masyarakat tidak terbebani PBB," jelasnya.
Ferry menyatakan bahwa pihaknya juga akan menyiapkan sanksi bagi subjek pajak golongan mampu yang melakukan manipulasi data agar mendapatkan keringanan atau penghapusan PBB ini.
"Nanti kita minta sumber pendapatan. Akan ada sanksinya, dia kan masuk pengemplang pajak," ungkapnya.
Ferry berharap kebijakan ini mulai bisa diterapkan pada tahun depan dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum. (Dny/Gdn)
Penghapusan PBB Bukan Ancaman Bagi Pendapatan Negara
PBB sejatinya adalah bea yang dikenakan atau diwajibkan bagi subjek pajak, bukan pada objek pajak seperti tanah dan bangunan.
Advertisement