Liputan6.com, Jakarta - Sebagai negara berkembang, Indonesia saat ini masih sangat tergantung terhadap kondisi ekonomi global, terutama pada investor asing. Hal itu dikarenakan sumber pendanaan dalam negeri demi membuat Indonesia lebih maju, masih sangat terbatas.‎
Bank Indonesia (BI)Â melihat, hal tersebut sangat wajar untuk sebuah negara berkembang. Namun begitu, saat ini Indonesia setidaknya memiliki dua kelemahan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Pertama, mengenai defisit neraca transaksi berjalan.
"Dengan kondisi seperti itu, depresiasi kurs rupiah menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan, kurs nilai tukar itu sangat ditentukan oleh neraca transaksi berjalan," kata Gubernur BI Agus Martowardojo di Gedung BI, Jumat (10/4/2015).
Bahkan dirinya mengungkapkan, dengan kondisi neraca transaksi berjalan yang terus defisit, BI tidak bisa menjamin nilai tukar rupiah kembali ke level Rp 9.000 seperti beberapa tahun lalu.
"Intervensi BI tidak bisa membalikkan tren, hanya bisa menjaga pelemahan supaya tidak lebih gradual dan fluktuasinya terjaga," tegas Agus.
Sementara yang menjadi kelemahan kedua adalah dari sisi utang luar negeri yang sudah dalam status waspada. Utang luar negeri swasta sendiri dikatakan Agus saat ini mencapai US$ 163 miliar.
Dari total Utang Luar Negeri (ULN) swasta tersebut diimbangi dengan kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) yang didominasi oleh asing dimana mencapai 38 persen. "Padahal konon yang direkomendasikan dalam tahap aman itu di bawah 30 persen," ujar Agus.
Kelemahan tersebut ditambah dengan utang tersebut hanya 26 persen yang melakukan lindung nilai. Dnegan begitu sebanyak 74 persen utang sangat rentan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolas AS.
Untuk itu, Agus menghimbau kepada seluruh perusahaan di Indonesia untuk lebih mengendalikan ULN mereka dan memanfaatkan fasilitas hedging. (Yas/Gdn)
BI Ungkap Dua Kelemahan Ekonomi Indonesia
Utang luar negeri swasta Indonesia mencapai US$ 163 miliar.
Advertisement