Liputan6.com, Jakarta - Industri keuangan syariah di Indonesia sudah memasuki dekade ketiga sejak bank syariah pertama di Indonesia berdiri pada 1991. Dalam perjalanannya, bank syariah mampu bertahan dari terjangan badai krisis yang sempat melanda negara ini pada 2008 silam.
Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro menuturkan, perbankan syariah mempunyai daya tahan kuat menghadapi krisis dibandingkan bank-bank konvensional.
"Bank konvensional mempunyai banyak instrumen yang sangat spekulatif, sementara bank syariah tidak ada di dalam area itu, cenderung konservatif. Jadi ini kunci daya tahan bank syariah," ujar Bambang saat acara Seminar Nasional Ekonomi Syariah di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (14/4/2015).
Advertisement
Kata dia, daya tahan itu harus terus diperbaiki sehingga bank syariah mampu berkontribusi signifikan terhadap perekonomian negara ini.
Perjalanan bank syariah di industri keuangan syariah, lanjutnya, bukan tanpa risiko. Bank syariah penting menjaga tata kelola manajemennya dengan baik. Â
"Begitu ada yang kolaps satu bank syariah, maka semua bukan menyalahkan direksinya tapi bank itu. Jadi tata kelola manajemen harus dijaga betul, tidak boleh ada ruang kesalahan. Sekali saja salah, sektor syariah tidak akan berkembang," jelas dia.
Dalam hal ini, Bambang mengaku, pemerintah harus mendukung perkembangan bank syariah. Lantaran total aset perbankan syariah belum mencapai lima persen meski ada potensi luar biasa di Indonesia karena negara muslim terbesar.
"Bank syariah tidak akan bisa tumbuh alamiah, jadi kemajuan bank syariah di dunia harus didukung pemerintahnya. Perlu intervensi pemerintah. Beda sama bank konvensional yang sudah besar," terang dia.
Tantangan saat ini, Bambang bilang, manajemen bank syariah dituntut berinovasi dalam meluncurkan produk dan menyentuh masyarakat Indonesia dengan karakter rasional.
"Pembiayaan syariah tidak bisa pakai pendekatan alamiah. Kita ingin total aset bank syariah jadi besar dan diakui menjadi Islamic Center atau Hub di dunia," harap Bambang. (Fik/Ahm)