Liputan6.com, Jakarta - Subsidi minyak tanah makin memberatkan pemerintah, Rp 5 ribu harus dikeluarkan untuk tiap 1 liter minyak tanah. Konsumsi masyarakat diasumsikan memakai 10 juta liter minyak tanah, berarti Rp 50 triliun dihabiskan hanya untuk subsidi. Itu situasi pada 2008 lalu, bukan saat ini.
Jusuf Kalla (JK) yang saat itu juga menjadi wakil presiden berpendapat sudah saatnya Indonesia menerapkan kebijakan diversifikasi energi. Kala itu, pemerintah menggelar rapat, untuk mencari sumber penghasil energi selain minyak tanah.
"Kita rapat. Timbul ide untuk pakai batu bara. Lalu digelarlah pameran batu bara di Kemayoran, semua memuji dan hampir mau keluar Keppres. Tapi saya bilang tunggu dulu, studi banding dulu," kata pria yang karib disapa JK, dalam seminar bertema Indonesia dan Diversifikasi Energi, di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (14/4/2015).
Advertisement
Pemerintah pun mengirimkan sejumlah perempuan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, tim dari Kementerian ESDM, dan tim dari Wapres ke Cina. Mereka studi banding untuk menilai efektivitas penggunaan batu bara.
Sebelum melanjutkan bercerita, JK sedikit terkekeh. Ia mengambil gelas berisi air minum, meneguknya sejenak. Maklum, sudah hampir 20 menit. JK bicara non stop terkait diversifikasi energi sebelum berbagi pengalamannya ini.
"Ini lucu. Saya ingat yang pakai batu bara itu orang-orang kung-fu di Cina. Saya kirim tim. Baru sampai di Shanghai, orang-orang sana mencibir orang Indonesia. Mereka bilang Anda bisa kena TBC," cerita JK.
"Jadi orang Cina jelasin, dulu masyarakat mereka punya tempat masak di luar. Nah kalau orang Indonesia tinggal di apartemen, bisa hitam semua Anda kena asap batu bara," lanjut dia.
Para peserta seminar tertawa mendengar cerita tersebut. JK dihadiahi tepuk tangan.
Mendapat laporan tersebut, JK pun langsung mencoret opsi pemakaian batu bara sebagai diversifikasi energi. Bahkan, ia menyebut batu bara sebagai penghasil energi paling kotor di dunia.
Kemudian, JK bersama jajarannya berpikir kembali sumber penghasil lain yang ramah lingkungan dan hasilnya adalah gas alam. Sebelum diputuskan dalam peraturan, pemerintah menunjuk Universitas Trisakti untuk menguji efektivitas dari gas alam ini.
"Kita pilih Trisakti yang suka demo. Maka keluarlah report Trisakti dan benar gas alam lebih efektif. Langsung saya perintahkan Pertamina uji coba di Kemayoran. Hasilnya 60 persen setuju. Dilanjutkan di Makassar, 80 persen masyarakat setuju. Kemudian, dicoba di Jakarta dan bisa dibilang sukses," tutur dia.
'Gratiskan Saja'
Pemerintah pun mengatur agar konversi minyak tanah ke gas berlaku secara nasional. Nah, di sini muncul masalah, karena sulit mengubah perilaku masyarakat yang sudah terbiasa dengan minyak tanah.
JK tidak kehabisan akal. Ia paham betul masyarakat Indonesia menyukai hal-hal yang gratis, lantas kompor dan tabung gas digratiskan.
Hal ini sempat ditentang oleh Menteri Keuangan yang saat itu dijabat Sri Mulyani. Namun, JK menjelaskan pemerintah lebih hemat membagikan dengan gratis daripada meneruskan subsidi minyak tanah.
"Saya bilang semua harus gratis. Jadi gratis kompor, gratis tabung gas. Itu ongkos 225 ribu satu paketnya. Saya ke menteri keuangan, dihitung total ongkos Rp 15 triliun," ungkap JK.
Walau digratiskan, aturan konversi ke gas alam bukannya tanpa penolakan. Pria berumur 72 tahun itu mengakui terjadi banyak demo. Tapi, pemerintah bergeming. Perintah penangkapan mereka yang demo pun diberikan.
"Banyak demo, saya suruh tangkap. Kita usut siapa yang bayar demo, ternyata pedagang minyak tanah. Intinya tetap kita berikan free, jangan ada lagi subsidi minyak tanah," tandas JK.
Hal ini pun sukses mendapat pengakuan dunia. Sebab, dalam 3 tahun, JK mampu membuat 50 juta kepala keluarga beralih menggunakan gas alam.
Nah, kali ini JK kembali menjabat posisi wakil presiden. Bila dulu ia sukses mengkonversi minyak tanah ke gas alam, di pemerintahan sekarang apa yang akan dikonversikannya? Mari kita tunggu langkah JK. (Silvanus A/Ahm)