Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perindustrian Saleh Husin meminta produsen garam nasional untuk meningkatkan kualitas garam produksinya agar dapat memenuhi kebutuhan haram untuk sektor industri di dalam negeri.
Saleh mengatakan, garam merupakan salah satu komoditi yang strategis bagi industri karena banyak dibutuhkan di sektor kimia, aneka pangan dan minuman, serta farmasi dan kosmetika. Selain itu juga menjadi kebutuhan pokok bagi manusia untuk dikonsumsi. Dia memperkirakan pada 2015, kebutuhan garam nasional diperkirakan mencapai 2,6 juta ton, dimana sektor industri yang paling banyak menggunakan.
"Namun saat ini masih harus diimpor karena kualitas garam kita belum dapat memenuhi standar industri, sedangkan garam lokal hingga saat ini hanya baru memenuhi untuk kebutuhan konsumsi," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (19/4/2015).
Di samping itu, total impor garam 2013 senilai US$ 104 juta. Dari total nilai impor garam tersebut, ekspor produk industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku garam telah berkontribusi dalam meningkatkan devisa negara sebesar US$ 4,83 miliar, belum lagi dari produk industri PVC dan kertas.
Menurut Saleh, kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri tidak hanya terbatas pada NaCl yang tinggi (minimal 97 persen), tetapi juga harus diperhatikan kandungan logam berat lainnya seperti kalsium dan magnesium yang masing-masing maksimal 400 ppm untuk industri aneka pangan, sedangkan untuk industri chlor alkali plan (soda kostik) maksimal 200 ppm serta kadar air yang rendah.
"Sementara itu garam untuk industri farmasi yang digunakan untuk memproduksi infus dan cairan pembersih darah harus mengandung NaCl 99,9 persen-100 persen," kata dia.
Sedangkan dari sisi garam konsumsi untuk kebutuhan manusia permasalahan yang dihadapi saat ini adalah pasokan Kalium Iodat (KIO3) yang masih terbatas dan harga jual yang masih tinggi sehingga industri garam beryodium yang skala kecil kesulitan dalam mendapatkan pengadaan kalium lodat.
"Dengan demikian kondisi ini berdampak pada kurangnya jaminan pasokan garam beryodium cukup di masyarakat," lanjutnya.
Padahal tim Gangguan Akibat Kekurangan Beryodium (GAKY) merencanakan agar penduduk Indonesia sudah harus mengkonsumsi garam beryodium paling tidak 90 persen pada tahun 2015, sedangkan saat ini baru pada tingkat 75 persen.
Untuk mengatasi hal ini, Saleh menegaskan bahwa pemerintah telah mencanangkan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pegaraman. Pada program intensifikasi akan dilakukan optimalisasi lahan pegaraman yang ada (eksisting) melalui:
Pertama penataan lahan, waduk penampungan, lahan penguapan dan meja pegaraman. Kedua perbaikan saluran primer termasuk pintu air laut masuk, saluran sekunder ke kolam penguapan dan saluran tersier ke meja garam. Ketiga, pengadaan alat pencucian dan iyodisasi.
"Kegiatan intensifikasi ini telah dilakukan di sentra-sentra produksi garam eksisting dan dilakukan secara bertahap," ungkapnya.
Sementara itu, program ekstensifikasi merupakan program pemanfaatan lahan-lahan potensi dan belum dikelola secara optimal. Salah satunya di propinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki lahan sangat luas dan musim kemarau yang sangat panjang sekitar 7-8 bulan. "Program intensifikasi ini sebagian besar akan dilakukan di propinsi Nusa Tenggara Timur," tandas Saleh. (Dny/Gdn)
Menperin Minta Industri Garam Tingkatkan Kualitas
Pada 2015, kebutuhan garam nasional diperkirakan mencapai 2,6 juta ton.
Advertisement