Liputan6.com, Jakarta - Program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu megawatt (MW) yang menjadi salah satu target pembangunan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kurun waktu 2015 hingga 2019 dinilai bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Yenny Sucipto mengatakan, hal ini lantaran proses pengadaan barang dan jasa proyek tersebut dilakukan melalui mekanisme penunjukan langsung yang memberikan celah terjadinya kongkalikong antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan investor.
"Hal ini akan menimbulkan potensi bisnis relasi yang kuat karena proyek ini adalah proyek yang sangat besar," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Fitra, Minggu (19/4/2015).
Selain itu, mekanisme penunjukan langsung yang terjadi di lingkungan BUMN, dalam hal ini PT PLN (Persero), juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Keuangan Negara dan UU BUMN.
Keterkaitan dua UU tersebut yaitu mengatur bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu yang baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang salah satunya meliputi kekayaan negara yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang dan barang termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan BUMN adalah masuk sebagai kategori kekayaan negara.
"Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga telah menyatakan bahwa pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN dengan cara penunjukan langsung kepada pihak terafiliasi dan atau anak perusahaan bertentangan dengan prinsip persaingan usaha sehat," jelasnya.
Selain itu, proses penunjukan langsung ini juga dinilai dilakukan dengan tidak transparan karena tidak diumumkan ke publik, perusahaan mana saja yang memenuhi kriteria kemampuan dan keahlian dalam pembangunan proyek ini.
"Akibatnya disinyalir perusahaan yang akan ditunjuk langsung adalah perusahaan yang belum berpengalaman, tidak mempunyai kekuatan finansial yang memadai, tetapi dapat ditunjuk karena mempunyai kedekatan politik," tandasnya.
Seperti diketahui, pemerintah menetapkan sebanyak 109 proyek yang masuk dalam program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu MW untuk periode 2015 hingga 2019.
Dari 109 proyek pembangkit berdaya total 36.858 MW ini, 74 proyek berkapasitas 25.904 MW diantaranya akan dikerjakan dengan skema pengembangan listrik swasta atau independent power producer (IPP) dan 35 proyek lainnya yang berdaya 10.681 MW dikerjakan PLN.
Secara lokasi, Jawa - Bali terdapat proyek pembangkit berkapasitas 18.697 MW, Sumatera 10.090 MW, Sulawesi 3.470 MW, Kalimantan 2.635 MW, Nusa Tenggara 670 MW, Maluku 272 MW dan Papua 220 MW. Total kebutuhan pendanaan selama periode 2015-2019 sekitar Rp 1.127 triliun yang terdiri atas PLN Rp 512 triliun dan swasta (IPP) Rp 615 triliun.
Pendanaan PLN diperuntukkan bagi proyek pembangkitan Rp 199 triliun dan transmisi serta gardu induk Rp 313 triliun. Sementara, kebutuhan pendanaan IPP Rp 615 triliun seluruhnya untuk pembangkitan.
Sesuai RUPTL 2015-2024, pemerintah memproyeksikan beban puncak listrik dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6,1 persen pada 2015 akan mencapai 36.787 MW. Pada 2019, menjadi 50.531 MW dengan pertumbuhan ekonomi 7,1 persen. Dan pada 2024 menjadi 74.536 MW dengan asumsi pertumbuhan 7 persen.
Saat ini, kapasitas terpasang nasional sebesar 50 Ribu MW. Dengan tambahan 35 Ribu MW, maka rasio elektrifikasi meningkat dari 84 persen pada 2015 menjadi 97 persen pada 2019. (Dny/Gdn)
Penunjukan Langsung Proyek 35 Ribu MW Dorong Persaingan Tak Sehat
KPPU menyatakan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN dengan cara penunjukan langsung kepada pihak terafiliasi tidak sehat.
Advertisement