Liputan6.com, Washington - Menjual rumah yang telah lama dihuni tentu merupakan pilihan berat bagi siapapun pemiliknya meski dengan tawaran harga yang menggiurkan. Adalah Austrin Spriggs, pria asal Washington yang akhirnya menderita kerugian cukup besar lantaran menolak menjual rumahnya.
Saat harga properti tengah mencapai puncaknya di Washington, sejumlah pengembang konstruksi berusaha mendirikan kondonium dan perkantoran yang mengharuskan rumah Spriggs digusur. Tawaran harga yang diberikan sangat tinggi membuat Spriggs seperti pria yang baru menang lotre jika menerimanya.
Namun setiap kali para pengembang menawar rumahnya, Spriggs menolak dengan tegas dirinya tak akan menjual rumah yang dihuninya tersebut. Berkali-kali pihak pengembang mengunjunginya di rumah dan kantor, tapi dia tetap menolak.
Advertisement
Hingga akhirnya Spriggs justru menjual rumahnya dengan harga yang jauh lebih murah dari tawaran yang selama ini diberikan. Apa penyebabnya?
Berikut ulasan singkat kisah Spriggs yang menolak menjual rumahnya seperti dikutip dari Washington Post, bizjournals.com, oddee.com, dan sejumlah sumber lain, Selasa (28/4/2015):
Harga properti sedang naik
Harga properti sedang naik
Menyambut harga properti yang terus meningkat pada 2010, para pengembang terus berusaha membangun ratusan perkantoran dan kondonium. Beberapa orang di antara mereka bahkan melego satu rumah di kawasan yang dikehendaki hingga seharga US$ 2 juta atau Rp 26,02 miliar (kurs: Ro 13.012).
Penggarapan proyek apartemen dan perkantoran itu merupakan hasil kerjasana Zusin Development dan Sivan Properties. Keduanya telah mengakuisisi sebagian besar lahan di salah satu daerah di Washington.
Namun di lokasi tersebut, ada satu pemilik rumah yang menolak menjual rumahnya bahkan dengan tawaran jutaan dolar, yaitu Austin Spriggs. Kabarnya, selain perkantoran, Presiden Zusin Developments, Ilya Zusin mengatakan, pihaknya akan mengubah lahan seluas 3.700 kaki persegi itu untuk membangu properti ritel dan restoran.
Advertisement
Penawaran harga
Penawaran harga
Pada 2009, tawaran harga yang diberikan untuk pembelian setiap rumah hanya US$ 715 ribu. Tapi Spriggs memutuskan untuk menolak harga itu dan memperjuangkan harga lebih tinggi.
Para pengembang lantas berusaha membujuk Spriggs untuk menjual rumahnya dengan harga mencapai US$ 2 juta atau Rp 26,02 miliar. Spriggs menolak lantaran rumah tersebut merupakan tempat dirinya mendirikan perusahaan arsitektur kecil sejak 1980.
Setiap kali para pengembang datang dan menawarkan harga lebih tinggi, Spriggs tetap menolak. Dirinya bahkan berjanji mengubah tempat tersebut menjadi pizzeria yang akan berbaik hati menyambut dan menyajikan makanan bagi penduduk baru.
Para pengembang properti mulai jengah dan berhenti membujuk Spriggs yang dianggap keras kepala.
Spriggs akhirnya jual rumah dengan harga murah
Spriggs akhirnya jual rumah dengan harga murah
Kala itu, kabar penolakan penjualan rumah yang dilakukan Spriggs menyebar ke seluruh kota dan menjadi perbincangan hangat di Washington dan negara bagian lain. Bagaimana tidak, Spriggs menolak tumpukan uang demi mempertahankan rumahnya.
Empat tahun kemudian, rumah tersebut telah dikelilingi bangunan besar yang merupakan komplek perkantoran, ritel, dan restoran. Bangunan tinggi dengan baja dan kaca tepat mengelilingi rumahnya, kecuali bagian depan saja.
Pizzeria yang dijanjikan Spriggs tak pernah dibuka. Setelah banknya mengancam akan menyita rumah tersebut, Spriggs akhirnya menjual huniannya itu seharga US$ 1,5 juta. Sayangnya, kini pihak pengembang lebih berani dan menawar harga tersebut.
Akhirnya, pada 2011, Spriggs menjual rumahnya hanya seharga US$ 750 ribu atau Rp 9,76 miliar, jauh lebih rendah dari tawaran pertama. (Sis/Ndw)
Advertisement