Liputan6.com, Jakarta - Kalangan buruh menyatakan penolakannya terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76 Tahun 2015 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara Berupa Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam Negeri.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, kebijakan tersebut dinilai tidak tepat dikeluarkan saat kondisi ekonomi Indonesia belum membaik.
"Buruh menolak kebijakan pemerintah karena waktunya tidak tepat, ditengah kondisi ekonomi Indonesia meski masih baik tapi agak sulit karena melemahnya rupiah terhadap dolar, kenaikan harga BBM," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (29/4/2015).
Dengan mengeluarkan aturan ini, pemerintah tidak sensitif terhadap masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat saat ini, khususnya kelas menengah ke bawah.
"Kebijakan ini tidak sensitif dan menyakiti hati rakyat. Masalahnya di kala rakyat tengah dibebani dengan kenaikan harga-harga seperti BBM, kebutuhan pokok, harga gas, tarif listrik. Tetapi pejabat malah mendapatkan peningkatan fasilitas yang bersifat kenyamanan," kata dia.
Menurut Said, jika kondisi ekonomi sudah membaik dan pemerintah bisa mengendalikan harga, mungkin keluarnya aturan itu tidak akan menjadi masalah.
"Kalau ekonomi sudah membaik dan harga-harga tidak naik, mungkin bisa dipahami, tetapi karena harga melambung tinggi, masyarakat ekonominya tengah terjepit, sensitifitasnya pemerintah malah tidak ada," jelasnya.
Oleh karena itu, buruh meminta pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut. Menurut dia lebih baik jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bisa dinikmati oleh masyarakat banyak ketimbang mementingkan fasilitas yang diterima para pejabat.
"Oleh karena itu permintaan buruh presiden membatalkan kebijakan tersebut. Dan pemerintah harus berusaha maksimal menurunkan harga-harga, BBM, bahan pokok, elpiji 3 kg, tarif listrik untuk rumah tangga," tandasnya. (Dny/Ndw)
Menteri Dapat Jatah 2 Mobil, Buruh Protes
Kebijakan tersebut dinilai tidak tepat dikeluarkan saat kondisi ekonomi Indonesia belum membaik.
Advertisement