Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta untuk melibatkan para pelaku usaha yang bergerak pada sektor eksplorasi minyak dan gas (migas) dalam agenda revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.
Senior Vice President for Goverment Policy and Public Affairs Chevron Indonesia, Yanto Sianipar mengatakan, hingga saat ini para pelaku usaha belum diajak berdiskusi soal revisi UU tersebut. "Kami belum diajak diskusi, jadi belum tahu mana yang jadi pilihan," ujarnya di Hotel Dhamawangsa, Jakarta, Selasa (5/5/2015).
Lantaran tidak dilibatkan dalam pembahasan revisi UU tersebut, para pelaku usaha tidak tahu rencana pergantian sistem kontrak bagi hasil produksi atau production sharing contract (PSC) yang selama ini diterapkan pada sektor migas dengan kontrak karya atau sistem royalti yang saat ini diterapkan pada sektor pertambangan mineral.
"Itu juga belum kami analisa antara PSC dengan kontrak karya atau royalti," lanjutnya.
Meski demikian, Yanto berharap pemerintah segera mengajak pelaku usaha untuk berdiskusi mengenai revisi ini. Dengan demikian diharapkan tidak ada pelaku usaha yang keberatan dengan hasil revisi UU tersebut nantinya.
"Jadi harapanya kita sedini mungkin kita diajak diskusi untuk minta masukan dari para pelaku migas. Kalau bisa sejak awal, jangan nanti pas diunjung tinggal tanda tangan, kemudian kita beri masukan. Nanti lebih sulit lagi," tandasnya.
Untuk diketahui, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini sedang merevisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Pembahasan regulasi tersebut masih dalam tahap penyelesaian naskah akademik.
UU No 22 tahun 2001 akan direvisi keseluruhan, karena ada perubahan filosofi pada dunia minyak dan gas Indonesia. Filosofi tersebut berubah dari liberalisasi murni menjadi liberalisasi tapi berwawasan kebangsaan. (Dny/Gdn)
Pelaku Usaha Minta Dilibatkan dalam Revisi UU Migas
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini sedang merevisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.
Advertisement