Liputan6.com, Jakarta - Swasembada gula untuk konsumsi maupun industri sulit terwujud pada 2015. Salah satu penyebab adalah sedikitnya pabrik gula yang ‎ada di Indonesia.
Untuk meningkatkan keberadaan pabrik gula di Indonesia, pemerintah diminta untuk memberantas mafia ‎impor. Mafia impor diibaratkan oleh para pemilik pabrik gula sebagai 'samurai' gula.
Baca Juga
"Cita-cita tujuan Kabinet Kerja ini Nawacita, nomor satu itu kedaulatan pangan dan salah satu poin itu memberantas mafia impor. Yang sekarang ini justru yang tumbuh gula rafinasi, mereka itu yang punya samurai gula itu. Kami yang pendekar gula ini modal pisau golok, jadi kalah tempur terus," kata Presiden Direktur Gendis Multi Manis Kamadjaya, di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (8/5/2015).
Advertisement
"‎Tadi saya sampaikan ke Wapres kalau kombinasi kebijakan perdagangan dan investasi kita masih seperti ini, takutnya nanti mimpi beliau kandas, tidak tercapai. Karena kebijakan perdagangan dan kebijakan investasi yang sekarang itu tidak mendorong investor siapa pun untuk membangun pabrik gula baru berbasis tebu," tambah dia.
Menurut Kamadjaya, sejarah mencatat terjadi penurunan pabrik gula di Indonesia, akibat makin maraknya pabrik gula rafinasi. Pada‎1996 terdapat pabrik gula sebanyak 163. Namun, hanya tersisa 57 pabrik gula pada 2015.
Di saat yang bersamaan, pabrik gula rafinasi meningkat. Pada 1996 hanya ada 1 pabrik gula rafinasi dengan produksi 150 ribu ton per tahun. Saat ini terdapat 11 pabrik gula rafinasi dengan produksi 7 juta ton per tahun.
"‎Para rafinasi itu memperoleh impor gula mentah dan bebas biaya masuk, sehingga harga jual gula rafinasi itu selalu lebih rendah dibanding harga gula petani. itu yang membuat industri gula berbasis tebu kita makin lama makin hancur," tegas Kamadjaya.
Investor dari Pabrik Gula Blora‎ itu mengatakan perlu ada perubahan kebijakan investasi di dalam negeri. Pemerintah perlu membatasi kebijakan impor pada pabrik gula yang tidak menggiling tebu sama sekali.
Kebijakan yang baru harus membuat petani menjadi kuat. Selain itu, pengusaha juga harus diberi insentif karena untuk membangun pabrik gula dengan menggiling tebu membutuhkan dana Rp 1,5 triliun, sementara bangun pabrik gula rafinasi hanya Rp 500 miliar.
"‎Jadi menurut saya industri pangan itu di negara mana pun yang kuat, itu bisa terwujud kalau petaninya kuat. Kalau petani tidak kuat, mimpi saja kita. Jadi yang harus diputus mata rantai setannya itu di petani. Petani harus happy, dapat harga jual tebunya dengan baik," tutur Kamadjaya.
‎
Wakil Presiden Jusuf Kalla, lanjut Kamadjaya, menyampaikan pabrik gula bisa berhasil bila dikelola oleh orang Jawa. Sebab, orang Jawa memiliki tradisi menanam tebu dan mengolahnya jadi gula.
"Kalau kita bicara gula, kita bicara Jawa, orang Jawa, ratusan tahun kita punya tradisi mengenai gula itu ya di orang Jawa, orang Jawa punya wiwitan, pengantenan, cemberan, sampai sudah ada budayanya," imbuh dia.
"Tadi Wapres menyampaikan jangan dibilang Lampung itu sukses karena non-Jawa, bukan, itu karena 90 persen itu petaninya orang Jawa. orang di Makassar bangun pabrik gula, itu begitu orang Jawanya tidak ada, berkurang, langsung industrinya hancur," tandas Kamadjaya. (Silvanus A/Ahm)