Sukses

Ekspansi Perkebunan Sawit Jadi Ancaman Bagi Lingkungan

Banyak isu muncul akibat ekspansi lahan sawit seperti konflik tanah, marjinalisasi perempuan, konversi lahan pangan, hingga kerja paksa.

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan pemerintah terkait mandatori biodiesel 15 persen (B15) dengan penggunaan crude palm oil (CPO) atau minyak sawit sebagai campuran solar dinilai akan berdampak buruk bagi lingkungan.

"Kebijakan pemerintah terkait pembangunan justru makin mendorong ekspansi perkebunan sawit skala besar," ujar Direktur Eksekutif Sawit Watch, Jefri Saragih dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (10/5/2015).

Dia menjelaskan, awal Februari 2015, Komisi VII DPR-RI memutuskan untuk memberikan subsidi biodiesel sebesar Rp 4.000 per liter dan subsidi bioethanol Rp 3.000 per liter kepada produsen. Ambisi pemerintah Indonesia untuk tetap menjadi negara nomor satu sebagai produsen crude palm oil atau minyak sawit mentah dapat dilihat dalam MP3EI.

"Pembangunan perkebunan kelapa sawit masih menjadi koridor utama dalam MP3EI," lanjutnya.

Menurut Jefri, emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari lahan gambut yang terdrainase dengan kedalaman air tanah gambut rata-rata 0,7 meter adalah 65 ton per CO2 per Ha per tahun. Sedangkan hingga 2014, total luas perkebunan sawit di lahan gambut telah mencapai lebih dari 11,5 juta Hektare (Ha).

"Ini berarti total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit pada tahun 2014 mencapai 747,5 juta ton CO2," kata dia.

Sementara dari segi sosial, banyak isu yang muncul akibat ekspansi lahan sawit ini seperti konflik tanah, marjinalisasi perempuan, konversi lahan pangan, hingga kerja paksa yang makin marak seiring dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Perwakilan Solidaritas Perempuan Puspa Dewy, mengatakan setidaknya terdapat 776 komunitas yang mempunyai konflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan telah mengakibatkan kriminalisasi terhadap masyarakat termasuk perempuan.

Perubahan tata kelola sumberdaya alam lokal menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar telah memberikan beban ganda, dan marjinalisasi sehingga posisi perempuan semakin rentan.

"Bagi perempuan, perkebunan sawit skala besar telah merampas sumber kehidupan perempuan dan menghancurkan kearifan lokal. Hadirnya perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan menguat," jelasnya.

Sudah jelas bahwa ekspansi perkebunan sawit justru akan berkontribusi kepada peningkatan emisi karbon. Ini tentunya bertolak belakang dengan komitmen penurunan emisi yang sudah dan akan dibuat oleh pemerintah Indonesia di berbagai perjanjian iklim internasional.

"Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah untuk segera menyusun langkah-langkah strategis dalam upaya penanganan perubahan iklim dengan pendekatan rendah karbon yang melindungi kedaulatan pangan, juga inklusif, sensitif dan responsif gender," tandas Puspa. (Dny/Gdn)