Liputan6.com, Jakarta - Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, Indonesia saat ini masih kekurangan 13,5 juta unit rumah. Hal itu terjadi karena kemampuan pengembang untuk membangun rumah baru sangat terbatas yaitu sekitar 400 ribu per tahun.
Padahal, kebutuhan rumah yang mencapai 800 ribu unit per tahun. Artinya, jika tidak diatasi backlog ini akan semakin besar. Menjawab tantangan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan program satu juta rumah pada akhir April 2015.
Rumah murah ini akan dibangun di seluruh provinsi di Indonesia secara bertahap. Pada tahap pertama, sekitar 331.693 hunian murah dibangun, mulai dari 305.727 rumah tapak, 25.678 rusunami, dan 288 rusunawa.
Advertisement
"Sesuai dengan data yang ada, seluruh provinsi di Indonesia masih kekurangan rumah," Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin saat berbincang di kantornya, ditulis Selasa (12/5/2015).
Ada banyak keunggulan yang ditawarkan pemerintah dari program satu juta rumah tersebut. Pertama, uang muka (down payment/DP) yang sangat rendah yaitu sebesar 1 persen dari total harga. Ini lebih rendah dari rumah komersial sekitar 20-30 persen.
Tidak hanya itu, dalam program pengadaan rumah di era pemerintahan Jokowi, bunga kreditnya juga diturunkan menjadi 5 persen, dari sebelumnya 7,5 persen. Sementara mengenai tenor kreditnya bisa sampai jangka waktu maksimal 20 tahun.
"Angsurannya bisa Rp 500 ribu-600 ribu per bulan," kata Syarif.
Adapun ketentuan untuk mendapatkannya, untuk rumah tapak, masyarakat harus memiliki penghasilan maksimal Rp 4 juta per bulan. Sedangkan untuk rumah susun, penghasilan maksimal calon pemiliknya tidak lebih dari Rp 7 juta. Lengkapnya, berikut hasil wawancara tim Liputan6.com dengan Syarif Burhanudin: