Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk memperpanjang moratorium hutan yang sudah diberlakukan sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011 lalu.
Perpanjangan moratorium hutan ini disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam keterangan tertulisnya, yang merupakan hasil pertemuan dengan Presiden Jokowi pada Rabu (13/5/2015) ini.
"Sehubungan dengan berakhirnya Instruksi Presiden nomor 6 tahun 2013 yang selama ini menjadi dasar hukum pelaksanaan moratorium hutan pada 13 mei 2015, dan sampai dengan pembahasan terakhir masih banyak usulan untuk perubahan penguatan, Presiden RI pada Rabu pagi 13 mei 2015 menegaskan setuju untuk diperpanjang," mengutip keterangan tertulis Menteri Siti Nurbaya yang diterima redaksi Liputan6.com.
Selanjutnya, menurut keterangan tersebut, untuk pembahasan perubahan penguatan akan dilakukan dengan penyesuaian dalam proses perpanjangan yang saat ini sudah bisa mulai dilakukan lintas kementerian secara mendetail bersama elemen pengusulnya.
Advertisement
"Usul penguatan yang datang dari WALHI, kemitraan, Sawit Watch, WRI dan lain-lain sangat dihargai dan akan dirangkum oleh Kementerian Kehutanan untuk ditindaklanjuti," mengutip keterangan tersebut.
Moratorium sendiri telah tertuang sejak 2011 melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan penerbitan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.
Masa pemberlakukan moratorium kemudian diperpanjang sampai 2013 melalui Inpres nomor 6 tahun 2013 dan berakhir masa berlakunya pada 2015 ini.
Moratorium terhadap izin hak pengusahaan hutan baru di kawasan hutan merupakan langkah penting dalam memenuhi komitmen sukarela Indonesia untuk mengurangi emisi.
Sebelumnya, pemberhentian izin perambahan di kawasan hutan gambut dan hutang lindung dapat mengurangi emisi karbon sampai 14 persen dan 26 persen.
Selain itu, pada dasarnya tujuan moratorium adalah perbaikan tata kelola penggunaan kawasan hutan. Saat ini masih terjadi konflik kepemilikan lahan/hutan, tumpang tindih izin, dan belum tercapainya satu peta kawasan hutan yang menjadi acuan berbagai instansi. (Nrm/Gdn)