Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mengkaji keberadaan produk-produk impor asal China. Selama ini produk impor China kian membanjir di pasaran dan dijual lebih murah dibandingkan buatan dalam negeri.
Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel mengaku kajian dengan memeriksa apakah keberadaan produk China tersebut melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
"Saya kira akan dicek apa yang disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap perang harga apakah itu ada unsur subsidi yang melanggar WTO atau tidak. Akan saya pelajari," jelas Rachmat di Jakarta, Sabtu (16/5/2015).
BPS mencatat Indonesia makin keranjingan impor mesin dan peralatan listrik terutama peralatan elektronik di antaranya ponsel kurun Januari-April 2015 dibanding periode sama tahun lalu. Hal ini terjadi karena ada perang harga antar negara-negara ASEAN dalam menjual produknya.
Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang diikuti penurunan harga minyak dunia justru mendorong harga jual sejumlah produk dari negara ASEAN ‎semakin murah. Akhirnya terjadi persaingan atau perang harga.
"‎Walaupun dolar naik, harga turun lebih tajam. Ada perang harga karena produksi perusahaan di negara-negara ASEAN sudah banyak, sehingga timbul persaingan. Mumpung harga murah, kita banyak beli (impor)," ujarnya.
Sasmito menuturkan persaingan atau perang harga terjadi antar China atau Tiongkok, Korea Selatan, Singapura, Vietnam, dan Malaysia mengingat produksi barang di negara tersebut berlimpah.
"China menjual barang yang kadang harganya tidak masuk akal. Harga yang harusnya Rp 2 juta, dijual Rp 700 ribu. Mungkin manfaatnya serupa, tapi soal kualitas tidak tahu," ujar Sasmito.
Impor paling dominan yang dikirim ke Indonesia, berupa ponsel. Ponsel tercatat masuk dalam kategori barang mesin dan peralatan listrik. ‎
Dari catatan BPS, impor mesin dan peralatan listrik pada Januari-April 2015 mengalami kenaikan 7,31 persen menjadi US$ 2,3 miliar dari periode yang sama 2014 sebesar US$ 2,19 miliar.
"Sedangkan untuk April 2015, impornya turun menjadi US$ 497,8 juta dari realisasi US$ 500 juta di Maret lalu. Itu termasuk ponsel, televisi, karena ada perang harga sejak awal tahun lalu. Jadi misal ponsel yang tadinya dijual Rp 1 juta, jadi Rp 500 ribu artinya yang semula cuma bisa beli satu, akhirnya bisa beli dua," tutup dia.(Amd/Nrm)
Advertisement