Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah gencar menggaet pendapatan dari sektor pajak yang ditargetkan cukup tinggi pada tahun ini. Sasaran pemerintah antara lain pengenaan cukai pada minuman bersoda.
Rencana pengenaan cukai minuman bersoda ini pun menuai respons anggota dewan. Anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supratikno menilai upaya memperluas sektor yang bisa ditarik pajak merupakan langkah yang bisa diambil pemerintah. Pasalnya, sumber-sumber penerimaan negara lebih bervariasi, dan lebih sehat.
Dengan target penerimaan perpajakan lebih dari Rp 1.400 triliun, tentu pemerintah dituntut kreatif. Bukan menyasar pada sumber-sumber pajak yang sudah ada, seperti cukai rokok. "Tentu saja saya setuju," kata politisi PDI Perjuangan ini di Jakarta, Senin (18/5/2015).
Anggota Komisi XI DPR lainnya, Mukhamad Misbakhun mengatakan, rencana tersebut sejalan dengan Undang-Undang (UU) nomor 11 Tahun 1995 yang kemudian diamandemen menjadi UU Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, salah satu yang paling diharapkan adalah mempermudah langkah ekstensifikasi.
Advertisement
Sesuai pesan beleid tersebut, salah satu objek untuk menggenjot penerimaan negara adalah pengenaan cukai bagi minuman bersoda.
"Sebenarnya rencana ekstensifikasi objek kena cukai tersebut sudah disampaikan Kementerian Keuangan sejak 2012 lalu. Namun kenapa belum kelihatan perkembangan yang nyata?,” tanya dia.
Menurut politisi Golkar ini, ada strategi yang harus ditempuh pemerintah agar rencana pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi bisa terlaksana.
Pertama, pendefinisian minuman ringan berkarbonasi harus jelas mengacu pasal 2 UU tentang Cukai agar landasan pengenaan cukai benar secara material.
“Kriteria dalam UU Cukai yang tepat sebagai landasan pemungutan adalah konsumsi barang tersebut perlu dikendalikan serta pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan,” papar dia.
Misbakhun menambahkan, bahan adiktif yang terkandung dalam minuman ringan berkarbonasi terdiri dari pemanis buatan, zat pewarna, dan zat pengawet.
Komposisi bahan-bahan tersebut, banyak yang dapat menimbukan dampak negatif bagi kesehatan. Akibat konsumsi berlebihan, dapat menyebabkan obesitas, diabetes mellitus, batu ginjal, osteoporosis, dan kerusakan gigi.
“Fakta ilmiah ini sebenarnya sangat kuat untuk mendasari pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi,” ujarnya.
Misbakhun menegaskan, ketika beban keuangan negara begitu besar, maka pemerintahan harus memanfaatkan momen krusial ini sebagai salah satu sumber tambahan penerimaan negara.
“Karena itu, pengenaan cukai minuman bersoda sejalan dengan strategi pemerintah melakukan ekstensifikasi pajak atau cukai sebagai sumber penerimaan negara,” tukas Sekretaris Panja Penerimaan Negara Komisi XI DPR ini.
Sebelumnya, Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi Sofjan Wanandi mengatakan pemerintah harus gencar melakukan ekstensifikasi pajak atau memperluas cakupan penarikan pajak dengan target pendapatan yang demikian besar.
Pernyataan ini disampaikan terkait dengan target pajak sekitar Rp 1.439,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.
Ditegaskan Sofjan, untuk menggenjot pajak atau cukai tidak bisa dari jenis perusahaan tertentu saja, semisal industri hasil tembakau. Cukai bisa digenjot dari jenis usaha lain seperti soda atau minuman beralkohol.(Nrm/Igw)