Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memiliki banyak sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti tenaga matagari, angin, air terjun dan beberapa lainnya. Namun sayangnya, pengembangan energi baru terbarukan tersebut kurang didorong. Hal tersebut bertolakbelakang dengan apa yang dilakukan di negara maju yang didukung pengembangan energi baru terbarukan dengan subsidi.
Vice President Research and Development Direktorat Pengolahan, Pertamina Eko Wahyu Laksono mengatakan, pengembangan energi baru terbarukan membutuhkan biaya yang besar. Namun, di beberapa negara maju dana yang dibutukan untuk mengembangkan energi baru terbarukan tidak terlalu dipikirkan. pasalnya, energi baru terbarukan terjamin ramah lingkungan.
"Bagi negara maju, seberapapun biaya yang dibutukan untuk pengembangan energi baru terbarukan tidak diperhitungkan karena teknologi tersebut terbukti ramah lingkungan. Negara maju tidak melihat harga," kata Eko, di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Senin (18/5/2015).
Ia menambahkan, Brazil telah melakukan pencampuran ethanol dengan BBM, padahal penggunaaan ethanol untuk BBM bersaing dengan makanan sehingga harganya menjadi mahal, namun Pemerintah Brazil berani mensubsidi ethanol, sehingga harganya menjadi murah.
"Di Brazil, ethanol dari jagung yang merupakan bahan pangan. Namun pengembangan ethanol dari jagung didukung dengan subsidi dari pemerintah. Jadi berapun harganya EBT akan laku, disamping riset terus menerus bagaimana mengurangi cost," paparnya.
Menurut Eko, pengembangan energi baru terbarukan penting untuk dilakukan. Pasalnya, energi yang bersumber dari fosil terus mengalami penurunan, selain itu energi baru terbarukan tidak membuat kerusakan lingkungan, karena tidak menyisakan emisi. "Energi fosil menurun penyumbang kerusakan lingkungan lambat laun digantikan energi baru terbarukan," pungkasnya.
Untuk mendukung energi baru terbarukan, Pertamina saat ini sedang mengembangkan bahan bakar nabati yang berasal dari lumut. Letak geografis dan kondisi alam Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan tanaman lumut."Kalau kita mau, Indonesia tidak mengenai musim dingin atau panas tapi musim tropis. Musim yang memungkinkan algae tumbuh sepanjang tahun," kata Eko.
Menurut Eko, dalam penelitian yang dilakukan oleh perseroan, lumut berpotensi untuk dijadikan Bahan Bakar Nabati (BBN) mirip dengan solar dengan kualitas Standar internasional Euro IV hingga V. Bahkan, Eko melihat bahwa Indonesia bisa menjadi produsen BBN terbesar di dunia melalui pengembangan lumut.
Dengan adanya bahan bakar dari lumut ini, Indonesia bisa terbebas dari ketergantungan energi dari luar negeri. Dengan lahan kering seluas 15 juta hektare, jika dikalikan dengan potensi alga 3.800 liter alga maka dapat mencukupi kebutuhan energi Indonesia mencapai 2,5 juta liter per hari. (Pew/Gdn)
Di Negara Maju, Pengembangan Energi Terbarukan Dapat Subsidi
Pengembangan energi baru terbarukan penting untuk dilakukan. Pasalnya, energi yang bersumber dari fosil terus mengalami penurunan.
Advertisement