Liputan6.com, Jakarta - Data pangan di Indonesia disebut-sebut amburadul sehingga berpengaruh pada kebijakan pemerintah soal pangan. Selama ini, pemerintah hanya mengandalkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang hanya berbasis pada perhitungan tertentu.
Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, saat Diskusi Pangan Kita di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (25/5/2015).
"Data pangan di Indonesia agak kacau. Di mana produksi beras nasional selama 2014 sebesar 43 juta ton dengan konsumsi beras tertinggi di seluruh dunia sekira 139 ribu kg per tahun, harusnya kita masih punya surplus 28 juta ton. Tapi ini malah krisis," ujarnya.
Sama halnya menggunakan data Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan konsumsi beras 124 ribu kg per tahun per kapita, seharusnya Indonesia mempunyai surplus hampir 10 juta ton. "Jadi ini ada masalah di data, dan manajamen pangan di Indonesia. Ada politik pangan," terang Dwi.
Dia menilai, ini adalah keprihatinan bersama seluruh masyarakat Indonesia. Data luasan panen, sampai produktivitas petani dianggapnya, terlalu banyak kelemahan. Sebab data luas panen bukan hanya diukur dari pandangan mata.
"Ada hal politis di dalamnya supaya ada peningkatan produktivitas beras. Sebenarnya kita bisa pakai teknologi pengindraan jauh, tapi Undang-undang (UU) Statistik tidak memperbolehkan lembaga lain merilis data, selain oleh BPS," tegasnya.
Senada, Anggota DPD RI Ajiep Padindang mengaku kurang percaya dengan data-data BPS yang menjadi basis pengukuran setiap Kementerian dan Lembaga. "Karena mereka (BPS) menghitungnya dari angka-angka perkalian antara jumlah lahan dan produksi sekali panen. Ini perlu perumusan," ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina membela diri. Menurutnya, data harga maupun perdagangan paling jujur ada di pasar.
"Soal beras misalnya, kita surplus kok dengan perhitungan konsumsi beras 124 ribu Kg per tahun per kapita, kita surplus beras 9,36 juta ton. Tapi memang distribusi enggak merata," terangnya.
Dia optimistis, stok beras di gudang Bulog akan meningkat seiring panen di Juni-Juli 2015 untuk menutup defisit di Januari dan Mei. Namun Kementerian Perdagangan hars melihat secara jauh penyerapan beras dari Bulog.
Dengan produksi beras saat panen di Juni diperkirakan 3,1 juta ton dan 4 juta ton di Juli 2015, maka dipastikan Srie Bulog tidak akan perlu mengimpor apabila bisa menyerap 30 persen dari produksi tersebut.Â
"Memang setiap peningkatan produksi beras 5 persen, kita impor untuk cadangan saja. Impor beras tahun lalu kecil kok cuma 35 ribu ton dari target 500 ribu ton. Tapi kebanyakan yang diimpor beras untuk kebutuhan hotel, restoran yang enggak diproduksi di dalam negeri," tegas Srie. (Fik/Gdn)
Data Pangan di Republik Ini Kacau
Stok beras di gudang Bulog akan meningkat seiring panen di Juni-Juli 2015 untuk menutup defisit di Januari dan Mei.
Advertisement