Liputan6.com, Jakarta - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) prihatin dengan sistem perekonomian yang berkembang saat ini. Hipmi menilai, apa yang berkembang saat ini makin jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam dasar negara: Pancasila.
Hal tersebut diutarakan Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia terkait hari ulang tahun (HUT) Pancasila yang jatuh pada hari ini. “Ini bukan soal pemerintahan, tapi ini soal sistem yang kita bangun sendiri sejak reformasi yang sangat liberal dan melupakan azas pemerataan dan keadilan sosial,” ujar Bahlil di Jakarta hari ini.
Bahlil mengatakan, hal itu terlihat dari distribusi aset-aset dan kekayaan negara sudah terkanalisasi ke para pemilik modal besar dan semakin tertutup terhadap para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) dan masyarakat luas.
Sebagai contoh, lanjut Bahlil, lembaga keuangan seperti perbankan, pembiayaannya hanya dapat diakses oleh mereka yang punya jaminan aset yang besar dan sudah mapan.
“Yang kecil makin kecil, yang besar tambah besar. Inilah sistem ekonomi kita yang semakin tidak berpihak kepada yang lemah,” papar Bahlil.
Bahlil memberi contoh, sangat banyak pelaku UKM yang saat ini yang ditolak mentah-mentah oleh perbankan saat mengajukan kredit. Bahkan mereka ditolak oleh bank-bank milik negara yang modalnya dari pajak yang dibayar rakyat juga. Padahal, jelas sekali bank-bank negara ini kian gencar menyalurkan pembiayaan korporasi ke grup-grup usaha swasta besar di Tanah Air.
Advertisement
Tak hanya itu, akses UKM ke perbankan semakin berat sebab dibebani suku bunga 19 persen-23 persen. Sedangkan untuk korporasi hanya sebesar 10 persen sementara di sektor ritel 11 persen sampai 12 persen
Bahlil mengatakan, pihaknya memahami bahwa korporasi-korporasi besar memang sanggup memenuhi apa yang dikehendaki perbankan sesuai prinsip good corporate governance (GCG) kemauan pasar.
Namun, pada bagian lain, Hipmi menilai sistem yang berkembang sekarang tidak membuka kanal yang lebih luas bagi pelaku UKM untuk memperoleh alternatif pembiayaan.
“Perekonomian kita makin meninggalkan Pancasila. Sakitnya tu di sini. Pasar itu bukan segalanya. Ada negara dan azas-azas keadilan sosial,” pungkas Bahlil.
Bahlil mengatakan, bila sistem semacam ini tak juga diperbaiki, maka dalam jangka panjang akan sangat berbahaya bagi bangsa ini. Sebab akan tercipta gap atau ketimpangan yang sangat besar dan hal itu sudah menunjukan situasi yang berbahaya. Pertama, perekonomian akan makin bertumpuh di satu pulau yakni pulau Jawa sebab dianggap lebih kompetitif.
“Itu terlihat dari kontribusi PDRB nasional (Produk Domestik Regional Bruto) Pulau Jawa yang tiap tahun meningkat. Sementara, kontribusi luar Jawa menurun terus. Pada tahun 2004, kontribusi Pulau Jawa sebesar 59,77 persen. Pada 2012 sudah 61,36 persen dari total PDRB nasional,” papar Bahlil.
Kedua, terlihat dari indeks rasio ketimpangan pendapatan kelompok masyarakat (Gini Ratio) yang terus meningkat sejak reformasi dikumandangkan. Pada 2005 gini ratio Indonesia pada kisaran 0,33 persen. Pada 2011 kemudian menyentuh 0,41 persen. Tahun 2014, gini ratio mencapai 0,42 persen.
Sebab itu, Hipmi mengingatkan agar perekonomian tidak bisa secara mentah-mentah diserahkan kepada mekanisme pasar sepenuhnya. Sebab pasar akan memunculkan pihak yang kuat dan mematikan yang lemah. Hipmi meminta agar kebijakan ekonomi ke depan harus menunjukan keberpihakan kepada pelaku UKM dan masyarakat lebih luas.
“Baik di politik anggaran, industri, bahan baku, akses perbankan, dan sebagainya harus menunjukan keberpihakan. Itu sebab, ada yang namanya negara yang wajib hukumnya melakukan intervensi terhadap sistem perekonomian yang tidak adil,” ujar Bahlil. (Amd/Ndw)