Liputan6.com, Jakarta - Wacana penerapan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty bagi wajib pajak (WP) yang memiliki aset di luar negeri selalu dikaitkan dengan penghapusan sanksi pidana bagi WP pengemplang pajak.
Direktur Penyuluhan dan Pelayanan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan, Mekar Satria Utama mengakui, setiap ada kebijakan selalu menimbulkan pro dan kontra. Demikian pula dengan kebijakan Dijen Pajak mengenai tak amnesty ini. Banyak pihak yang tidak setuju dengan penerapan kebijakan tersebut karena akan memberikan pembebasan pidana.
"Program ini yang jadi kontroversi itu karena ditawarkan juga penghapusan atas pidana umum lainnya seperti pencucian uang, korupsi, illegal fishing, illegal logging, illegal mining," ujarnya dalam diskusi publik Menimbang Pro dan Kontra Tax Amnesty di Jakarta, Jumat (5/6/2015).
Meski demikian, kedua hal ini memang saling terkait karena tanpa penghapusan sanksi, kebijakan tax amnesty yang diterapkan pemerintah nantinya tidak akan menarik bagi WP yang mengemplang pajak.
"Problemnya, tax amnesty juga diikuti dengan menghapus sanksi pidana. Kenapa ini ditawarkan? Program tax amnesty tidak berjalan dengan baik tanpa tawaran penghapusan sanksi pidana," katanya.
Oleh karena itu, Ditjen Pajak melihat bahwa untuk dapat menerapkan kebijakan ini tidak mudah. Penerapan kebijakan tax amnesty harus mendapatkan persetujuan dari seluruh elemen termasuk dari masyarakat umum sebagai WP.
"Terakhir, kami harap sudah dimulai apa yang dsebut dgn rekonsiliasi nasional. Kami akan mulai rekonsiliasi nasional. Apabila mereka mengikuti program ini dan disetujui masyarakat dan aparat penegak hukum, mudah-mudahan akan bisa meningkatkan perpajakan dalam negeri," tandasnya.
Sebelumnya, Ditjen Pajak berencana menerapkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2017. Ini merupakan program lima tahunan untuk mengamankan target penerimaan pajak setiap tahun. Â
Mekar Satria Utama menjelaskan, rencana pemberian tax amnesty telah tersusun dalam program Ditjen Pajak. Tahapannya, pada 2015 disebut tahun pembinaan, penegakan hukum pada 2016. Selanjutnya program tahun rekonsiliasi, yakni kegiatan mencari dan memperbaiki pengampunan dan penghargaan ke Wajib Pajak di 2017.
Kemudian tahun peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Ditjen Pajak pada 2018 dan terakhir tahun kemandirian APBN di 2019. "Kami berencana merealisasikannya dan batasannya 2017, karena tax amnesty di 2008 besar tapi ternyata bukan hanya masalah perpajakan saja. Juga mengenai sumber dan datanya," katanya.
Lebih jauh dia mengatakan, DPR sudah mendatangi Ditjen Pajak dan meminta secara tegas pelaksanaan tax amnesty pada tahun ini, bukan sunset policy atau penghapusan sanksi pajak. "Kami belum bisa menyampaikan sekarang, jadi harus disepakati dulu. Tapi kami akan memberi jalan supaya tax amnesty bisa terlaksana 2017," sambung Mekar.
Dia mengakui, pengampunan pajak yang diterapkan sejumlah negara mengalami keberhasilan maupun kegagalan. Namun Mekar menambahkan, pihaknya berusaha memperkuat data dari berbagai lembaga dan instansi untuk mendorong terwujudnya program lima tahunan Ditjen Pajak. (Dny/Gdn)
Tanpa Penghapusan Sanksi Pidana, Tax Amnesty Sulit Berjalan
Penerapan kebijakan tax amnesty harus mendapatkan persetujuan dari seluruh elemen termasuk dari masyarakat umum sebagai WP.
Advertisement