Liputan6.com, Jakarta - Permintaan kakao makin tinggi tiap harinya. Indonesia melihat hal ini sebagai peluang. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menargetkan produktivitas ditingkatkan tiga kali lipat sehingga Indonesia bisa jadi penghasil kakao nomor satu di dunia.
"Presiden dan Wapres targetkan tahun 2020 Indonesia akan jadi penghasil kakao nomor satu di dunia, melampaui Pantai Gading," kata Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh, di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (9/6/2015).
Wakil Gubenur Sumatera Barat Muslim Kasim menjelaskan di wilayahnya terdapat 153 ribu hektare yang dialokasikan untuk memproduksi kakao. Muslim melanjutkan pihaknya akan mengembangkan lahan jadi 250 ribu hektare untuk memenuhi target Jokowi-JK.
"Insya Allah dalam rangka menunjang produksi Indonesia jadi dua juta ton melebihi Ghana dan Pantai Gading. Saya kira bisa dicapai dalam dua atau tiga tahun," tegas dia.
Guna memenuhi target tersebut, JK mengumpulkan 11 gubernur yang wilayahnya merupakan penghasil kakao di dalam negeri. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menuturkan permintaan akan kakao meningkat hingga 10 persen, sementara produksi kakao dalam negeri hanya mampu memenuhi tiga persen.
"Kita harus meningkatkan produktivitas. Jadi per hektare saat ini baru di atas 500-800 kilo per tahun. Ini perlu kita tingkatkan," tutur pria yang akrab disapa Aher.
Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang menambahkan ada tiga faktor utama yang harus diperhatikan untuk mencapai target tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah bibit unggul, pupuk, dan penyuluhan.
Adnan juga menyampaikan selain tiga faktor tersebut, pemerintah juga akan menurunkan suku bunga bank. "Tadi Wapres juga sampaikan suku bunga bank turun 12 persen. Mudah-mudahan bank-bank betul-betul melaksanakan itu. Kalau tidak, petani kita enggak bisa," tutur Adnan.
Serapan Dana Rendah
Ketua Tim Ahli Wapres Sofyan Wanandi mengatakan pemerintah pusat sudah menyiapkan dana yang besar untuk meningkatkan produktivitas kakao. Nominalnya mencapai Rp 1,4 triliun. Sayang, serapan atas dana yang sudah disiapkan masih rendah.
"Sebenarnya uang sudah ada. Anggaran untuk kakao sudah tinggi sekali, ada RP 1,4 triliun. Tapi dipakai rata-rata cuma 10 persen dalam enam bulan pertama ini," imbuh Sofyan.
Sofyan pun meminta agar para pihak terkait menyerap dana secara maksimal. Dana itu nantinya bisa digunakan untuk pemenuhan bibit unggul dan pupuk. Terkait penyuluhan, pemerintah daerah setempat bisa bekerja sama dengan perusahaan swasta.
Sofyan juga mengatakan terdapat tujuh pabrik kakao di Indonesia, enam di antaranya merupakan pabrik asing. Akibat produksi kakao dalam negeri rendah, menyebabkan pabrik asing itu melakukan impor.
"Sekarang enggak ada barang, mereka impor bahan baku dari luar, dari Pantai Gading, Ghana, dari lain-lain. Kita harusnya bisa produksi 1,2 juta ton, sekarang cuma 500 ribu kilo. Jadi gampang untuk kakao kita karena semua cocok dari alam sampai cuaca," tandas Sofyan. (Alvin/Ndw)