Liputan6.com, Jakarta - Penerapan kebijakan moratorium oleh Kementerian Ketenagakerjaan untuk pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah dinilai bukan hanya merugikan perusahaan penyalur tenaga kerja, tetapi juga merugikan negara.
Ketua Satuan Tugas TKI Kadin Indonesia, Nofel Saleh Hilabi mengatakan, transaksi devisa yang dilakukan oleh para TKI dalam tiap tahunnya mencapai US$ 7,7 miliar atau berkisar US$ 700 juta per bulan.
"Ini bukan hanya merugikan hanya perusahaan penyalur, tapi juga merugikan negara. Devisa negara sendiri akan berkurang. Karena kita tahu bahwa devisa kita terbesar nomor dua berasal dari pada tenaga kerja ini. Begitu tenaga kerja tidak dikirim, tidak ada devisa yang masuk ke Indonesia," ujarnya di Menara Kadin, Kuningan, Jakarta, Kamis (11/6/2015).
Dia menjelaskan, sebelum adanya moratorium, dalam satu bulan ada sekitar 40 ribu tenaga kerja asal Indonesia yang dikirim ke wilayah Timur Tengah, di mana mayoritas bekerja di Arab Saudi.
"Itu jumlah dari seluruh perusahaan penyalur tenaga kerja. Jumlah ini besar, karena tiap perusahaan saja bisa mengirim antara 800 hingga 1.000 tenaga keja," lanjutnya.
Selain merugikan dalam hal devisa, adanya moratorium ini juga dinilai akan memicu pertumbuhan oknum mafia sebagai penyalur tenaga kerja ilegal.
"Ini juga jadi lahan mafia. Karena di Indonesia, kalau suatu yang dipersulit maka akan jadi lahan bagi mafia. Di sini tingkat pengangguran tinggi, kebutuhan tenaga kerja di luar negeri banyak, maka mereka akan pakai jalur ilegal," katanya.
Oleh sebab itu, dia berharap mencabut moratorium tersebut. Para pengusaha juga bersedia membantu pemerintah untuk membenahi sektor TKI yang bekerja di laur negeri.
"Harapanya, kita ingin ajak pemerintah selesaikan masalah TKI ini satu demi satu. Moratorium ini harus dicabut karena ini hanya akan menambah masalah," tandasnya. (Dny/Gdn)
Moratorium TKI Rugikan Negara
Sebelum moratorium, dalam satu bulan ada sekitar 40 ribu tenaga kerja asal Indonesia yang dikirim ke wilayah Timur Tengah.
Advertisement