Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) sulit memastikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bisa kembali menguat di bawah level 13.000. Hal ini karena fenomena super dolar AS yang memicu tekanan pada negara-negara dengan catatan defisit neraca transaksi berjalan.
Gubernur BI, Agus Martowardojo mengungkapkan, kondisi rupiah saat ini berada pada satu keseimbangan antara kecepatan pemerintah melakukan reformasi struktural dan perbaikan defisit transaksi berjalan dengan adanya tekanan global.
Baca Juga
"Tekanan global merupakan dampak dari periode super dolar. Super dolar ini membuat negara yang punya defisit transaksi berjalan, inflasi jelek, fundamental lemah akan membuat mata uang tertekan, seperti Brazil dan Turki dengan depresiasi 15-16 persen," jelas dia saat di Gedung DPR, Jakarta, Senin (22/6/2015).
Advertisement
Namun, Agus mengatakan, tekanan berkurang apabila negara tersebut memperkuat reformasi struktural dan memperbaiki defisit transaksi berjalan. Sebagai contoh, India yang mampu membangun kepercayaan diri pasar dan mata uang stabil.
"Yang penting Indonesia bisa melaksanakan reformasi struktural, pengelolaan inflasi dan mengurangi defisit transaksi berjalan," ucap Agus.
Agus menuturkan, rupiah dapat kembali ke level di bawah Rp 13.000 atau tidak tergantung data yang dihasilkan pemerintah. Pemerintah, disarankannya, terus memperbaiki reformasi struktural dengan pengelolaan subsidi anggaran lebih baik. Memperkuat program ketahanan pangan, membangun infrastruktur.
Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada Senin 22 Juni 2015, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat ke level Rp 13.318 per dolar AS dibandingkan periode 19 Juni 2015 di kisaran 13.324 per dolar AS. (Fik/Ahm)