Sukses

DJP Sandera TJ, Penunggak Pajak Senilai Rp 1,2 Miliar

Penyanderaan dilakukan berdasarkan Surat Izin Penyanderaan dari Menteri Keuangan Nomor SR-1781/MK.03/2015 pada 24 Juni 2015.

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjalin kerja sama dengan Kepolisian dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM kembali melakukan tindak penyanderaan (gijzeling) terhadap seorang penanggung pajak berinisial TJ pada Senin 29 Juni 2015 sekitar pukul 18.00.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Banten, Catur Rini Widosari mengatakan, TJ merupakan penanggung pajak PT TTM, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang usaha industri barang jadi tekstil untuk keperluan rumah tangga dan terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tangeran Barat dengan nilai tunggakan pajak sebesar Rp 1,2 miliar.

"Kami sudah lakukan berbagai macam upaya penagihan, tetapi yang bersangkutan tidak punya itikad baik untuk bayar pajak," ujarnya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas IIA Salemba, Jakarta, Selasa (30/6/2015).

Dia menjelaskan, penyanderaan ini dilakukan berdasarkan Surat Izin Penyanderaan dari Menteri Keuangan Nomor SR-1781/MK.03/2015 pada 24 Juni 2015.

"Ketetapan ini sudah inkrah. Di pengadilan pajak pun sudah diputus kewajiban pajaknya dan pada putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali pun sudah ditolak, tetapi belum ada niatan baik dari yang bersangkutan, sampai akhirnya kita lakukan gijzeling," kata dia.

Catur menegaskan, tindakan gijzeling ini dilakukan semata-mata untuk memberikan efek jera terhadap para penunggak pajak. Dengan demikian, diharapkan timbul kedisplinan para wajib pajak untuk membayarkan pajaknya.

"Artinya tidak semata-mata langsung gijzeling tapi sudah ada beberapa upaya. Kami tidak melakukan hal-hal sampai menyanderan kalau mereka ada upaya untuk membayar," tandasnya.

Sebelumnya, Pejabat Pengganti Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, Wahyu K Tumakaka mengungkapkan, penyanderaan terhadap para penunggak pajak terus digalakkan di seluruh daerah. ‎Gijzeling, sambungnya, berlaku bagi Wajib Pajak yang tercatat mempunyai utang pajak dan tidak ada niat untuk melunasi atau membayarnya.

"Selama Undang-undang (UU) nggak berubah, gijzeling tetap akan ada. Penyanderaan kan buat Wajib Pajak yang nggak koperatif, tidak melunasi utang pajaknya jadi pakai cara itu. Dan diskresinya kalau dia sudah melunasinya," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Wahyu mengakui bahwa pemberitaan atau informasi seputar gijzeling sengaja dikurangi agar ‎masyarakat tidak jenuh dengan berita-berita tersebut. "Sudah hampir 3 bulan tidak melakukan pemberitaan soal gijzeling. Sudah cukup lah, nanti masyarakat bosan mendengarnya," terang dia.

Namun dirinya membantah apabila pengurangan intensitas blow up gijzeling karena Ditjen Pajak takut dengan Wajib Pajak. Sebab unit Eselon I ini dicap memaksa lewat gijzeling supaya Wajib Pajak membayar tunggakan pajak. Cara ini hanya akan membuat Wajib Pajak semakin takut dengan Ditjen Pajak.

"Kenapa harus takut, suatu penegakkan hukum dilaksanakan supaya hukum ditegakkan bukan bikin orang takut. Gijzeling itu sudah ada di UU, jadi kami tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih atau kurang dari apa yang sudah diatur UU. Yang nakutin berarti UU-nya," tambah Wahyu.

Dia mengaku, Ditjen Pajak dapat meraup potensial penerimaan pajak dari tagihan tunggakan pajak hingga Rp 20 triliun dari total utang pajak senilai Rp 50 triliun. "Ada potensial tertagih Rp 20 triliun, sedangkan sisanya Rp 30 triliun masih banyak masalah. Jadi tidak ada takut menakuti, karena kami juga sadar tidak boleh menakuti masyarakat," pungkas Wahyu. (Dny/Gdn)

Video Terkini