Liputan6.com, Jakarta - Setelah mendapatkan protes dari kalangan buruh, pemerintah akhirnya memutuskan untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Keputusan pemerintah ini mendapatkan dukungan dari kalangan pengusaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryadi Sukamdani mengatakan, pengusaha sebenarnya tidak mempermasalahkan apakah pemerintah ingin tetap menjalankan aturan lama atau merevisi. Sebab yang berkentingan dalam hal ini adalah buruh itu sendiri.
"Kami tidak masalah, karena yang diprotes itu lebih kepada kepentingan pekerjanya. Kalau kami lebih pada bagaimana subsidi iurannya. Jadi yang paling berkepentingan di sini adalah pekerja," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, seperti ditulis Minggu (5/7/2015).
Meski demikian, pengusaha tetap mendukung upaya buruh yang menuntut perbaikan dalam aturan terkait JHT ini, salah satunya terkait nasib buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Masa kalau di-PHK harus tunggu 10 tahun untuk pencairan dana JHT. Tapi selama dia berhenti dan bekerja di perusahaan lain tidak diambil tidak apa-apa. Keberatannya mereka kan begitu, soal PHK," kata dia.
Dengan adanya revisi ini, diharapkan buruh tidak lagi terus menerus melakukan tuntutan dengan menggelar aksi unjuk rasa. Pasalnya semakin sering aksi unjuk rasa terjadi dikhawatirkan akan menganggu kegiatan ekonomi dan iklim investasi di Indonesia.
"Presiden kan sudah perintahkan untuk merevisi, meski memang di Undang-Undang minimal kepesertaan minimal 10 tahun. Tapi kami mendukung kalau mereka (buruh) maunya begitu. Mereka tidak perlu menunggu 10 tahun kalau mereka di-PHK," tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri mengatakan, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum 1 Juli 2015 serta masa kepesertaan minimal lima tahun dengan masa tunggu satu bulan dapat mencairkan jaminan hari tua (JHT) beserta hasil pengembangannya.
Sementara, bagi peserta yang masih bekerja atau aktif kepesertaan BPJS dapat mencairkan dana JHT saat mencapai usia 56 tahun atau meninggal dunia atau cacat total tetap.
Manfaat JHT juga dapat diambil saat kepesertaan mencapai 10 tahun dengan besaran 10 persen untuk persiapan hari tuan. Sedangkan 30 persen untuk pembiayaan perumahan.
Pencairan manfaat pada kepesertaan 10 tahun tersebut hanya dapat dipilih salah satu, baik untuk persiapan hari tua atau pun pembiayaan perumahan. "Ini sesuai dengan UU SJSN dan PP Nomor 46/2015 tentang JHT sebagai regulasi turunannya yang baru," kata Hanif.
Namun demikian, setelah mendapat arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) diberikan pengecualiaan bagi para pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja agar bisa mencairkan JHTÂ sesegera mungkin.
"Pengecualiannya adalah bagi peserta yang kena PHK, atau berhenti bekerja bisa mencairkan JHT hanya dengan masa tunggu satu bulan, tanpa harus menunggu masa kepesertaan 10 tahun. Itu arahan Presiden," kata Hanif.
Menindaklanjuti arahan Presiden itu, Hanif menambahkan, maka PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang JHT segera direvisi setelah mempertimbangkan kondisi ketenagakerjaan nasional dan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Hanif menuturkan, Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan jaminan yang memberikan perlindungan kepada para pekerja terhadap risiko yang terjadi di hari tua. Saat itu, produktivitas pekerja sudah menurun. (Dny/Gdn)
Pengusaha Dukung Revisi PP Jaminan Hari Tua
Pengusaha sebenarnya tidak mempermasalahkan apakah pemerintah ingin tetap menjalankan aturan lama atau merevisi PP tentang Jaminan Hari Tua.
Advertisement