Sukses

Tak Ingin Krisis 98 Terulang, Pemerintah Harus Perhatikan Ini

Guru Besar Ekonomi UI, Anwar Nasution menilai, Indonesia memiliki masalah serius terutama soal nilai tukar rupiah melemah dan ekonomi turun.

Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Anwar Nasution menilai, kondisi ekonomi Indonesia mirip dengan krisis keuangan di periode 1997-1998. Untuk keluar dari masalah tersebut, pemerintah Joko Widodo (Jokowi) perlu merombak kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Kita ini punya masalah serius, di mana pertumbuhan ekonomi terus menurun, rupiah melemah. Ini menggambarkan ada masalah, khususnya di sektor perbankan dan utang luar negeri swasta," ujar Anwar di Jakarta, Rabu (8/7/2015).

Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) ini mengakui saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1997, kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) perbankan meningkat, dan ketidakmampuan swasta membayar utang luar negeri.

"Utang pemerintah terkontrol, yang bermasalah utang luar negeri swasta. Harga komoditas yang anjlok, tingkat suku bunga naik dan pelemahan kurs rupiah mengakibatkan sektor swasta enggak bisa bayar utang. Akhirnya banyak kredit macet mengganggu likuiditas perbankan. Jadi kondisinya persis sama dengan 1997," tegas dia.  

Kata Anwar, pemerintah perlu merombak total kebijakan pemerintahan sebelumnya untuk keluar dari kesulitan ekonomi ini. Mulai dari penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM), meningkatkan ekspor industri manufaktur, dan membangun infrastruktur.

"Rombak kebijakan SBY yang bodoh itu. Sebab pemerintah SBY menganggarkan seperlima dari uang negara untuk belanja subsidi BBM. Sayangnya bukan orang miskin yang menikmati," ucap Anwar.

Kebijakan lain, kata dia, memacu investasi industri padat karya dan manufaktur yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. "Dulu zaman SBY rupiah menguat secara efektif, tapi pepaya pun impor dari California karena harga murah. Akhirnya kita tidak bisa bersaing di luar negeri," terangnya.

Anwar mengutip istilah Presiden pertama RI, Soekarno yang mengatakan, Indonesia adalah bangsa kuli karena penyerapan tenaga kerja di dalam negeri sangat minim. Kemudian terpaksa masyarakat mencari mata pencaharian di negara lain sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

"Kita ini bangsa kuli, ekspornya cuma hasil tambang, hasil kebun dan para babu karena tidak punya pendidikan dan keahlian. Mereka bekerja di pabrik Korea, Jepang dan negara lain," ucapnya.

Untuk itu, tambah Anwar, pemerintah Jokowi harus agresif mengundang investor masuk ke Indonesia membangun sektor industri di Pulau Jawa agar warga Indonesia tidak perlu melanglang buana ke berbagai negara. "Ini yang tidak dijalankan pemerintah SBY," tegasnya.

Kesalahan lain, diakui Anwar pemerintahan SBY melalui aturan berencana membangun industri hilirasi seperti pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Hanya saja kesiapan infrastruktur bekum mendukung, seperti listrik, pelabuhan dan lainnya.

"Subsidi BBM Premium memang sudah dicabut pemerintah tapi itu masih kecil. Bagaimana meningkatkan pertumbuhan pajak dan menambah infrastruktur melalui peran Badan Usaha Milik Negara) ke depan," pungkas Anwar. (Fik/Ahm)