Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia harus bersakit-sakit dahulu menghadapi situasi penurunan perekonomian saat ini.
"Saya harus katakan apa adanya, memang ada penurunan di berbagai sektor. Hal itu lantaran ekonomi Indonesia terkena dua pukulan. Pertama, dari sisi permintaan dari negara tujuan ekspor turun. Kedua, penurunan harga produk ekspor," kata ujar Jokowi dalam acara buka puasa bersama pemimpin redaksi media massa, di Istana Negara, Rabu (8/7/2015) malam.
Baca Juga
Di sisi lain, lanjutnya, terjadi penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Jokowi menjelaskan, rupiah sebenarnya sejak tahun 2012 rupiah sudah menunjukkan tren menurun.
Advertisement
Namun, jelas Presiden, kondisi makro ekonomi Indonesia tidak seburuk yang dibayangkan orang. Ini terlihat dari debt service ratio (DSR) atau disebut rasio utang terhadap pendapatan (jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang yang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor) yang angkanya masih kecil.
Kemudian rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga masih relatif kecil dibandingkan negara lain. "Semua ini juga tergantung persepsi pasar. Kita akan perbaiki komunikasi dengan masyarakat. Peran pers dibutuhkan untuk memperbaiki persepsi pasar tentang ekonomi Indonesia," kata Jokowi.
Menurut Jokowi, Indonesia selama bertahun-tahun hidup dari konsumsi yang dibiayai utang. Misalnya, Indonesia berutang dari luar negeri dalam jumlah besar yang kemudian untuk dananya digunakan untuk konsumsi seperti untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM).
"Ini tidak benar. Ibaratnya, kita utang untuk membeli makan dan baju, itu kan tidak benar. Utang harusnya digunakan untuk pembiayaan kegiatan produktif."
Artinya, lanjut dia, Indonesia harus mengubah kebiasaan utang untuk konsumsi, menjadi utang untuk hal-hal yang produktif. "Untuk mengubah dan menghentikan kebiasaan itu, memang sakit tetapi harus dilalui. Kalau tidak dilakukan maka Indonesia akan terus tergantung dari konsumsi yang dibiayai utang."
Selain itu, agar ekonomi Indonesia sehat, harus melakukan berbagai upaya yang meningkatkan nilai tambah. Misalnya, nikel kalau hanya diekspor dalam bentuk mentah maka akan murah. "Kalau ekspor sudah bentuk sendok dan garpu, nilai tambahnya bisa 70 persen," tutur Jokowi.
Perubahan drastis ini, kata Presiden, ibarat bersakit-sakit dahulu untuk menjadi negara dengan perekonomian yang lebih baik dan sehat.
Jokowi menambahkan, ada dua hal yang dapat membantu ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Pertama stabilitas keamanan dan politik. Kedua, penyelesaian pembangunan infrastruktur yang cepat. "Menurut saya tidak ada jalan lain. Dan tidak ada proses cepat untuk selesaikan ini," kata Jokowi.
Ia menambahkan, pemerintah juga ingin menarik investasi sebanyak-banyaknya terutama investasi langsung. "Tetapi di situasi saat ini, investor berpikir lebih bagus kalau pegang kas daripada untuk investasi," kata Jokowi.
Karena itu, Jokowi mengharapkan, barang-barang yang diimpor selama ini harus dapat diproduksi sendiri oleh Indonesia. Misalnya, selama ini Indonesia impor beras, diharapkan ke depan dapat memproduksi beras sendiri. "Dari Oktober hingga Juli kita bisa menahan untuk tidak impor. Meski pada Januari ada gejolak. Akan tetapi kita berani," ujar Jokowi.
Selanjutnya, penghentian impor juga diharapkan untuk komoditas gula, kedelai dan jagung. Dia memperkirakan, bila impor pangan dihentikan maka Indonesia dapat menghemat sekitar Rp 300 triliun-Rp 320 triliun. Namun, ini tidak bisa langsung dilakukan, membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, mengatakan hal senada, tren perlambatan ekonomi sudah terjadi sejak 2012. "Tapi realisasi di kuartal I 2015 sebesar 4,7 persen masih relatif tinggi dibanding negara lain yang perekonomiannya jauh lebih besar dari Indonesia." [Baca Juga: Menkeu Bambang Brodjonegoro: Resesi Masih Jauh]
Pemerintah, imbuh Bambang, bekerja keras membalikkan tren pelemahan ekonomi menjadi perbaikan di tahun ini dengan memacu pengeluaran pemerintah dan memperkuat stimulus fiskal termasuk reformasi di sektor perpajakan.
"Dengan begitu, kita bisa mendapatkan penerimaan (negara) yang lebih baik dan punya ruang untuk melakukan stimulus fiskal lebih besar. Stimulus fiskal dan investasi pemerintah yang lebih besar akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bisa menghindarkan kita dari resesi. Kita upayakan jangan sampai terjadi (resesi)," terang dia.
Bambang memprediksikan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen hingga akhir 2015. Sedangkan khusus untuk semester II 2015, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,5 persen.
Sedangkan untuk tahun depan, Bambang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 5,5 persen sampai 6 persen. Level tersebut turun dari asumsi sebelumnya yang dipatok 5,8 persen sampai 6,2 persen. (Mohamad Teguh/Ahm)