Sukses

Kapan Indonesia Punya Kereta Super Cepat Shinkansen?

Dengan kecepatan 300 km/jam, jarak Jakarta-Bandung hanya akan ditempuh dalam waktu 37 menit.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan idealnya pembangunan kereta api (KA) super cepat alias Shinkansen di Indonesia baru bisa terealisasi jika pendapatan per kapita penduduk sudah menyentuh US$ 10 ribu. Saat ini pendapatan per kapita masyarakat masih US$ 4.700.

"Biasanya kalau pendapatan per kapita sudah US$ 10 ribu, umumnya baru bisa (bangun Shinkansen). Supaya enggak sedot anggaran negara," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian Kemenhub, Hermanto Dwiatmoko, saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Selasa (21/7/2015).

Lebih jauh dia menjelaskan, pemerintah China saja terus menyuntikkan atau menggelontorkan anggaran negara untuk moda transportasi kereta cepatnya. Sementara di Indonesia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diprioritaskan untuk meratakan kesenjangan pembangunan di wilayah timur.

"Anggaran Kemenhub prioritas untuk luar Jawa. Karena kalau digelontorkan untuk proyek ini yang menikmati hanya orang Jakarta-Bandung, dan warga di timur bisa marah," ucapnya.  

Hermanto mengaku, harga tiket KA super cepat Jakarta-Bandung berdasarkan hasil studi kelayakan dari Jepang dipatok Rp 200 ribu per orang. Syarat supaya pihak swasta untung, KA Shinkansen harus ditumpangi 100 ribu orang setiap harinya.

"Kalau menurut studi Jepang, jika pengoperasian Shinkansen Jakarta-Bandung pada 2020, maka tarifnya Rp 200 ribu per orang. Orang pasti mau, tapi untung enggak. Jangan sampai rugi terus, minimal balik modal lah," kata dia.

Salah satu kereta cepat Jepang -- Shinkansen. (Wikimedia)



Dengan kereta berkecepatan 300 kilometer (km) per jam, dijelaskan dia, Jakarta-Bandung hanya akan ditempuh dalam waktu 37 menit. Namun rute yang menguntungkan sebenarnya, Hermanto bilang Jakarta-Surabaya dengan waktu tempuh 2 jam dibanding pesawat.

"Makanya kita sedang pikirkan matang-matang, karena bangun KA supercepat di Jakarta juga tidak mudah. Bisa bangunnya di bawah tanah tapi investasinya lebih mahal. Kalau jalur elevated atau melayang, perlu pembebasan lahan. Jadi harus dikaji dengan benar," tukas Hermanto. (Fik/Ndw)