Liputan6.com, Jakarta - Pemerhati energi menyarankan pemerintah untuk mengambil alih tugas PT Pertamina (Persero) dalam pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Langkah tersebut dilakukan untuk menghindari kerugian.
Pengamat energi dari Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria mengatakan, seharusnya penyediaan stok nasional, baik berupa minyak mentah dan BBM menjadi tanggungjawab pemerintah dan tidak dibebankan ke perusahaan seperti Pertamina.
"Negara yang harus menyiapkan anggaran untuk membeli minyak dan kemudian barulah menjualnya ke badan usaha," kata Sofyano, Minggu (2/8/2015).
Menurutnya, kemampuan keuangan Pemerintah dapat membeli minyak mentah atau BBM dalam jumlah besar yang menjadi kunci ketahanan energi bagi bangsa ini.
"Pada dasarnya belanja atau membeli minyak (crude oil) ataupun produk, pasti akan bertumpu pada stok minyak yang sudah dimiliki badan usaha, baik minyak yang masih dalam proses pengiriman dari negara penjual dan juga pada stok yang ada pada depo penyimpanan," paparnya.
Selain itu, membeli minyak dalam jumlah besar ketika harga sedang turun, juga memiliki risiko rugi besar karena sangat bisa terjadi harga minyak akan kembali turun sementara badan usaha, misalnya, terlanjur memborong minyak saat itu.
"Ini pasti menimbulkan kerugian besar yang kenyataannya pula kerugian tersebut menjadi tanggung jawab badan usaha dan bukanlah tanggung jawab Pemerintah," ungkapnya.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said menyatakan, Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp 12 triliun karena menyalurkan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Kerugian tersebut terjadi karena pemerintah tidak menaikan harga BBM saat harga minyak dunia mengalami kenaikan. "Kemarin saya mendapat laporan bahwa Pertamina mengalami defisit sampai Rp 12 triliun," jelas Sudirman. (Pew/Gdn)
Pemerintah Harus Bertanggung Jawab dalam Pengadaan BBM
Pertamina mengalami kerugian Rp 12 triliun karena pemerintah tidak menaikkan harga BBM saat harga minyak dunia mengalami kenaikan.
Advertisement