Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan menanggung risiko pengeboran panas bumi untuk meningkatkan minat investasi pengembangan listrik yang bersumber energi panas bumi.
Anggota Unit Pelaksanaan Program Pembangunan Ketenagalistrikan (UP3KN) Agung Wicaksono mengatakan, pengeboran mencari sumber uap panas bumi memiliki risiko besar. Padahal dalam proyek 35 ribu megawatt (MW), porsi listrik dari energi baru terbarukan (EBT) sekitar 25 persen.
"Waktu driling (mengebor) di awal kita inginkan risiko pengeboran itu untuk diambil oleh pemerintah," tuturnya di Jakarta, Senin (3/8/2015).
Selain memberikan kemudahan di susu hulu, pemerintah juga telah memberikan insentif di hilir, yaitu melalui Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 17 Tahun 2014 tentang tarif panas bumi yang sudah dinaikkan.
"Ada beberapa kebijakan yang sudah disiapkan pertama tarifnya. Untuk harga listrik panas bumi pada 2014 sudah dinaikkan tarifnya melalui Peraturan Menteri. Di hulu masalah pengeboran, di hilir ya tarifnya," papar Agung.
Ia mengungkapkan, dalam 25 persen porsi EBT yang disumbang ke program ke 35 ribu MW, proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) menjadi andalannya. Namun Agung belum bisa menyebutkan kapasitasnya setelah porsi EBT dalam program kelistrikan yang ditargetkan rampung lima tahun tersebut ditingkatkan.
"Sekitar 25 persen mayoritas panas bumi sama air, saya belum tahu dengan perubahan 25 persen ini jadi berapa banyak ya, sebelumnya geothermal bisa hampir 4.000 MW airnya hampir sama 3.000 MW," pungkasnya. (Pew/Ndw)