Liputan6.com, Beijing - Membuat janji makan malam dengan sekelompok teman menjadi tantangan sendiri. Dari mulai menyepakati waktu hingga tempat bisa membuat Anda senewen. Itu baru soal sederhana. Nah, China punya rencana pada 2020 memindahkan sekitar 100 juta rakyatnya yang hidup di desa ke kota. Jumlah ini meningkat menjadi 250 juta orang pada 2026.
Rencana ini terungkap pada Maret 2014 lalu. China ingin bersaing dengan negara maju lainnya secara keuangan dan ekologi. Konsep kekuatan ekonomi berbasis investasi dan ekspor bakal ditinggalkan. Pemerintah China ingin mengundang perekonomian dunia masuk ke negaranya.
Baca Juga
"Permintaan domestik sangat penting bagi pembangunan ekonomi China dan potensi terbesar untuk memperluas permintaan itu terletak pada urbanisasi," demikian tertulis pada Rencana National Urbanisasi Tipe Baru 2014-2020, seperti dikutip dari Tech Insider, Senin (10/8/2015).
Advertisement
Di Amerika Serikat, sekitar 80 persen penduduknya tinggal di kota. Sementara, China masih berada di angka kurang dari 60 persen. Dengan memindahkan para petani dari desa ke kota, China berharap bisa semakin menguatkan kekuatannya dalam perekonomian global.
Rencana ini didukung dengan pembangunan kereta api dan jalur bebas hambatan semua kota supaya 200 ribu orang semakin terhubung. Rel kereta kecepatan tinggi akan menggabungkan kota dengan populasi sekitar 500 ribu orang. Tujuannya, supaya jumlah penduduk kota yang terdaftar semakin banyak.
Sebanyak 100 juta orang membutuhkan tempat tinggal baru, Karena itu, China berencana menggabungkan kota-kota pinggiran menjadi kota besar. Secara teori, kota besar memiliki populasi lebih dari 10 juta orang. Beberapa penggabungan ini sedang berlangsung, seperti kota-kota di pinggiran Beijing.
Tentu saja hal ini tidak semudah di atas kertas. Banyak negara maju di Barat membutuhkan waktu ribuan tahun untuk mengakomodasi kebutuhan infrastruktur lebih dari 100 juta penduduknya. Bahkan ada negara maju yang masih berjuang mewujudkannya.
China pun sedang berjuang mewujudkan rencana itu. Banyak kendala yang dihadapi, terutama karena faktor tengat waktu yang mepet. Beberapa pembangunan jembatan dan jalan tol yang terlambat dari rencana. Tidak semua penduduk senang dengan rencana itu karena menganggap transportasi publik ke kota lebih murah ketimbang memakai kendaraan pribadi.
Bahkan pemukiman perkotaan lama harus menghadapi persoalan baru. Bangunan tempat tinggal mereka terpaksa digusur untuk pembangunan gedung baru. Banyak dari penghuni lama belum menerima uang kompensasi.
Semua ini terjadi karena pembangunan kota yang terlalu cepat sehingga kehidupan masyarakat pun terancam. "Ini kehidupan baru bagi kami di perkotaan," kata Tian Wei, seorang petani yang pindah bekerja di kota. "Seumur hidup saya bekerja di sawah dengan tangan ini, apakah saya mempunyai pendidikan yang cukup dengan penduduk kota lainnya?". (Elsa/Ndw)
Reporter: Elsa Analet