Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan China sengaja melemahkan Yuan dengan melebarkan rentang mata uang (currency band) 1,9 persen dikhawatirkan memicu perang mata uang. Hal ini akan diantisipasi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) karena bisa berdampak terhadap Negara ini.
Pelaksana Tugas Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mewanti-wanti terjadinya perang mata uang mengingat ada fenomena penguatan dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang.
"Ini yang tidak boleh terjadi, perang kurs karena memang dolar AS menguat dan melemahkan hampir semua mata uang di dunia. Dengan China pasti kita terkena imbasnya," ujar dia saat ditemui sebelum Rapat FKSSK di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Selasa (11/8/2015).
Advertisement
Depresiasi kurs rupiah, dinilai Suahasil, bisa mendorong daya saing produk barang ekspor Indonesia karena harganya lebih murah. "Tapi kan China juga mendevaluasi mata uangnya, jadi bisa menurunkan harga barangnya dan mendorong competitiveness mereka," tambah Suahasil.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengungkapkan, China sengaja mendevaluasi mata uang Yuan lantaran kalah dari sisi ekspor mengingat harganya yang mahal.
Dari catatannya, hanya ada dua mata uang yang justru menguat akibat kebijakan China, yakni Franc Swiss dan Poundsterling Inggris. Sementara Yuan hanya terkoreksi sedikit tapi tetap terkontrol.
Lebih jauh dia menjelaskan, sementara Jepang terdepresiasi lebih dari 25 persen dalam kurun waktu 2,5 tahun, Korea 6 persen di tahun ini. Sedangkan kompetitor perdagangan China adalah Jepang, Korea dan Singapura untuk produk-produk manufaktur.
"Jangan pakai bahasa currency war, karena perang mata uang itu menurut perusahaan luar negeri dari currency trader. Yang pasti devaluasi Yuan karena China mengalami penguatan mata uang, sehingga produknya jadi mahal dan kalah ekspor di tengah pertumbuhan ekonominya yang turun," tegas dia.
Pengumuman currency band ini, Mirza bilang menimbulkan sentimen negatif sehingga mata uang negara-negara di sekitar China mengalami depresiasi.
Bagaimana dengan rupiah?
Mirza menuturkan, depresiasi kurs rupiah dari awal tahun sebesar 8,5 persen terhadap dolar AS. Jika dihitung sejak 2013, lanjut dia, pelemahannya sangat besar sekira 30 persen. Sementara Yuan China hanya melemah 2 persen.
"Tapi BI menjaga stabilitas dengan selalu ada di pasar," tegasnya. (Fik/Ndw)