Sukses

China Sengaja Lemahkan Mata Uang Demi Dongkrak Ekspor

China ingin mendorong ekspor di tengah perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu.

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan China melemahkan mata uang Yuan 1,9 persen membuat sentimen negatif dan memicu depresiasi kurs rupiah yang menembus level 13.600 per dolar AS. Tujuannya adalah untuk mendorong ekspor di tengah perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu.

"Semua depresiasi mata uang dipengaruhi kebijakan pemerintah China. Itu dilakukan untuk mendorong ekspornya," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil di kantornya, Jakarta, Selasa (12/8/2015).

Menurutnya, pemerintah China mengambil kebijakan tersebut agar produk ekspornya bisa lebih kompetitif dan berdaya saing dengan barang dari negara lain. Sebab hampir seluruh mata uang di dunia mengalami depresiasi.

"Mungkin negara lain mengalami pelemahan mata uang, China juga ingin mata uangnya melemah supaya lebih kompetitif. Tapi kita sih oke-oke saja, karena selama ini rupiah sudah cukup undervalue," tegas dia.

Sofyan mengaku akan menunggu reaksi kebijakan China tersebut dalam dua hari ini. Hanya saja, dia meminta agar masyarakat tidak melihat kondisi ini menunjukkan perang mata uang.

"Kita lihat reaksinya dalam dua hari ini, bagaimana pengaruhnya ke berbagai negara. Karena ini baru di sekitaran sana yang terkena dampaknya," terang dia.

Ditemui terpisah, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara menuturkan, China sengaja mendevaluasi mata uang Yuan lantaran kalah dari sisi ekspor mengingat harganya yang mahal.

Dari catatannya, hanya ada dua mata uang yang justru menguat akibat kebijakan China, yakni Franc Swiss dan Poundsterling Inggris. Sementara Yuan hanya terkoreksi sedikit tapi tetap terkontrol.

Lebih jauh dia menjelaskan, sementara Jepang terdepresiasi lebih dari 25 persen dalam kurun waktu 2,5 tahun, Korea 6 persen di tahun ini. Sedangkan kompetitor perdagangan China adalah Jepang, Korea dan Singapura untuk produk-produk manufaktur.

"Yang pasti devaluasi Yuan karena China mengalami penguatan mata uang, sehingga produknya jadi mahal dan kalah ekspor di tengah pertumbuhan ekonominya yang turun," tegas dia. (Fik/Ndw)