Sukses

Rupiah Mampu Menguat, Namun Belum Stabil

Pada perdagangan pagi ini, penguatan rupiah terlihat belum stabil dikarenakan optimisme para pelaku pasar atas reshuffle.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat pada awal perdagangan Kamis (13/8/2015). Namun penguatan rupiah dinilai belum stabil karena sentimen positif optimisme para pelaku pasar atas reshuffle kabinet akan memudar dan kembali ke sentimen dari eksternal yaitu kenaikan suku bunga AS dan devaluasi China.

Menurut data Bloomberg, Kamis (13/8/2015), nilai tukar menguat pada level 13.728 pada pukul 10.08 WIB. Nilai tukar rupiah dibuka pada level 12.815 per dolar AS, turun dari penutupan kemarin yang berada di level 13.800 per dolar AS. Sejak pagi hingga siang, nilai tukar rupiah berada di kisaran 13.694 per dolar AS hingga 13.818 per dolar AS.

Sementara kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat tipis 0,08 persen menjadi 13.747 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 13.758 per dolar AS.

Head of Research & Analysis PT Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra menjelaskan, penguatan nilai tukar rupiah saat ini karena pasar memberikan tanggapan positif terhadap pergantian kabinet. Menteri-menteri yang dipilih oleh Presiden Jokowi tidak berbeda jauh dengan perkiraan para analis dan juga pelaku pasar. 

Untuk diketahui, pada Rabu (12/8/2015) kemarin Presiden Joko Widodo mengangkat Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Polhukam, Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman, Sofyan Djalil sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas, dan Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan.

Namun, Ariston melanjutkan, sentimen dari dalam negeri tersebut tidak hanya sentimen sementara karena kinerja dari para menteri-menteri baru tersebut belum terlihat. Pasar akan kembali melihat sentimen dari luar yang pasti juga akan berpengaruh kepada nilai tukar rupiah. 

"Jadi penguatan rupiah belum stabil, masih akan dipengaruhi devaluasi Yuan China dan outlook suku bunga AS masih on the track atau tidak," kata Ariston.

Para pelaku pasar kembali menimbang situasi terikini dan tidak larut dalam optimisme reshuffle kabibet pada hari kemarin. "Orang kembali ke faktual terkini" tambah Ariston

Pada selasa (11/8/2015) People's Bank of China (PBC) atau Bank Sentral China sengaja melemahkan mata uangnya. Pelemahan itu sekitar 1,9 persen terhadap dolar Amerika Serikat.

Hal itu bertujuan untuk mempercepat laju ekonomi negeri tirai bambu. Pemangkasan tersebut memicu Yuan anjlok hingga mengalami penurunan harian terbesar sejak Januari 1994.

Di sisi lain, Bank Sentral AS The Fed berencana menaikan suku bunga pada 2015 ini. (Ilh/Gdn)