Liputan6.com, Jakarta - Indonesia terus berupaya meminta penerapan aturan kemasan polos rokok tak berlaku di negara-negara yang ingin memberlakukannya. Pasalnya, hal ini akan memperngaruhi industri tembakau dan rokok nasional. Seperti yang akan diterapkan Singapura.
Aturan ini pun dinilai mencederai hak anggota WTO di bawah perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).
Baca Juga
"Kami tidak menentang cara-cara meningkatkan kualitas kesehatan, tapi tentu saja cara-cara itu harus sesuai dengan ketentuan di WTO. Dan kebijakan kemasan polos bertentangan dengan TRIPS, hak paten setiap negara, dimana itu sudah diakui WTO," jelas Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi, seperti dikutip Kamis (13/8/2015).
Advertisement
Bila Singapura menerapkan ini, akan mempengaruhi industri rokok nasional. Selama ini ekspor produk tembakau Indonesia ke Singapura pada 2014 mencapai US$ 139,99 juta, menurun 9,66 persen dibanding periode sebelumnya yang mencapai nilai US$ 154,96 juta.
Jika kebijakan baru ini berlaku, ekspor produk rokok dan produk tembakau Indonesia diperkirakan makin merosot.
Bachrul berharap, Singapura yang berencana menerapkan kebijakan kemasan polos seperti Australia, agar menunggu keputusan sengkata WTO.
Jika Indonesia menang, maka kebijakan kemasan polos di setiap negara bisa dipersoalkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). "Kami berharap Singapura juga bisa menahan diri sampai dispute selesai," tandasnya.
Asal tahu saja, saat ini, Indonesia tengah menggugat Australia terkait kebijakan kemasan polos produk rokok melalui WTO.
Menurut Bachrul, kemasan polos produk rokok telah mencederai hak anggota WTO di bawah perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).
Kebijakan kemasan polos produk rokok yang diberlakukan Australia berimplikasi luas pada perdagangan dunia, khususnya Indonesia terutama dari sisi kinerja ekspor.
Bahcrul mengingatkan, setiap perusahaan atau industri yang memiliki hak paten berhak melindungi hak paten tersebut. Kemudian dari setiap logo produk dan bentuk diferensiasinya seringkali melalui sebuah riset produk yang panjang. Dengan upaya itu tentu saja si pemilik logo memiliki hak penuh untuk mempertahankan.
Tidak hanya soal hak paten, kebijakan rokok polos pada akhirnya akan berdampak kepada kehidupan petani tembakau dan industri rokok nasional.
Dia mengingatkan, industri rokok menyumbang 1,66 persen total Gross Domestic Product (GDP) Indonesia dan devisa negara melalui ekspor ke dunia yang nilainya pada 2013 mencapai US$ 700 juta.
Selain itu, industri rokok juga menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang bekerja di industri rokok secara langsung dan tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani tembakau dan cengkeh
Kebijakan kemasan polos juga bisa dinilai sekaligus merupakan bentuk diskriminasi terhadap produk tembakau sebagai salah satu komoditas strategis Indonesia.
Â
Di sisi lain, kebijakan tersebut mampu melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia di negara-negara yang menerapkannya.
Diketahui, Senat Perancis diketahui menolak penerapan kebijakan kemasan polos rokok di negaranya. Penolakan itu diputuskan Komite Sosial dalam senat yang dipimpin Richard Yung beberapa waktu lalu.
Penolakan Perancis lantaran khawatir kebijakan kemasan polos rokok melanggar undang-undang hak cipta. Selain itu, kebijakan kemasan rokok polos akan meningkatkan peredaran rokok palsu.
"Betul, Perancis memang menolak kebijakan kemasan rokok polos. Sementara Singapura saat ini sedang dalam tahapan konsultasi publik," tegas dia.
Asal tahu saja, kemasan polos rokok merupakan salah satu bentuk pedoman yang diformulasikan dalam Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, atau 'Framework Convention on Tobacco Control' (FCTC) yang diusung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Di sisi lain, para petani tembakau memperkirakan perkembangan FCTC kian mengancam keberadaan petani tembakau secara sistematis. Contoh melalui berbagai pedomannya yang eksesif dan tidak rasional terutama kemasan polos rokok.(Amd/Nrm)