Liputan6.com, Jakarta - China menurunkan mata uangnya Yuan perlu diwaspadai oleh Indonesia. Ada kekhawatiran kalau perang mata uang terjadi dengan devaluasi Yuan dalam jangka panjang.
Ekonom BCA, David Sumual menuturkan bank sentral China telah melemahkan mata uangnya selama tiga hari berturut-turut menjadi sekitar 4,6 persen. Ada kabar China akan menurunkan mata uangnya hingga 10 persen. Hal ini perlu diwaspadai pemerintah Indonesia untuk jangka panjang.
"Dikhawatirkan ada perang mata uang. Selain itu Amerika Serikat bisa menahan suku bunganya. Bila skenario ini terjadi dikhawatirkan akan memicu krisis global seperti pada 2008," ujar David saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (13/8/2015).
Advertisement
Akan tetapi, menurut David, bank sentral AS kemungkinan tetap menaikkan suku bunganya. Hal itu mengingat soal kredibilitas. Pejabat bank sentral AS menyatakan akan menaikkan suku bunga sebelum akhir tahun 2015. Karena itu, ia mengharapkan perang mata uang ini tidak terjadi agar mendukung ekonomi China.
David menilai, China melemahkan mata uangnya untuk memberikan sinyal ke Dana Moneter Internasional/International Monetery Fund (IMF) terkait Yuan masuk keranjang mata uang cadangan (Special Drawing Rights/SDR). SDR adalah mata uang internasional yang diciptakan IMF untuk mengatasi kesulitan likuiditas internasional dan menjaga stabilitas kurs mata uang.
"Dengan masuk SDR maka Yuan dapat jadi reserve currency maka bisa dipegang negara mana pun," kata David.
Dampak Pelemahan Yuan bagi Indonesia
Lalu apa dampak China melemahkan Yuan bagi Indonesia? David mengatakan, kebijakan pelemahan Yuan dapat membantu mengangkat ekonomi China dalam jangka panjang. Ekonomi China membaik akan berdampak positif bagi Indonesia. Hal itu lantaran ekspor Indonesia sebagian besar ke China terutama komoditas.
Namun sisi lain, David mengingatkan kalau Yuan melemah ini dapat membuat barang-barang China makin menyerbu ke Indonesia. Apalagi saat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan perjanjian dagang dengan China. Indonesia diharapkan dapat bersiap secara ekonomi dan geo politik untuk menghadapi hal tersebut. "Daya saing harus ditingkatkan dan biaya ekonomi seperti logistik pun dapat diturunkan," kata David.
China melemahkan mata uang Yuan harian sekitar 1,9 persen terhadap dolar Amerika Serikat pada Selasa pekan ini, dan terus berlanjut hingga hari ini. Langkah itu sebagai bagian dari reformasi pemerintah China untuk mengupayakan perluasan penggunaan Yuan secara global.
Selain itu, devaluasi Yuan memberikan sinyal kepada pasar kalau situasi pertumbuhan ekonomi China yang mengkhawatirkan sejalan dengan perlambatan investasi, konsumsi masyarakat dan ekspor. Ekspor China turun menjadi 8,3 persen pada Juli.
Pelemahan mata uang ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekspor China dan meningkatkan daya saing produk domestik terhadap barang-barang impor. "Produsen China dikhawatirkan akan kembali menggunakan bahan domestik," tulis riset PT Henan Putihrai.
Dalam riset PT Henan Putihrai itu juga menyebutkan kalau depresiasi Yuan secara signifikan menyebabkan penurunan imbal hasil bagi investor sehingga meningkatkan potensi outflow dari bursa saham China secara besar dalam jangka pendek.
"Kami melihat pelemahan bursa China akan kembali memberikan sentimen negatif terhadap pergerakan IHSG mengingat korelasi yang sangat tinggi antara pertumbuhan ekonomi Indonesia dan China serta tingginya ekspor Indonesia ke China," tulis riset itu.
Lebih lanjut dikemukakan kalau penurunan Yuan membuat potensi pertumbuhan ekspor Indonesia ke China menjadi semakin kecil. Walau pun jangka panjang, apa bila produktivitas China dapat bergerak dengan cepat masih ada kemungkinan negara itu perlu mengekspor bahan mentah dari negara-negara seperti Indonesia. (Ahm/Ndw)