Sukses

Mogok Dagang, Pasokan Ayam di Bogor Berkurang 75%

Kelangkaan ayam di Kota Bogor sudah terasa sejak hari Minggu (16/9/2015) lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Akibat Pedagang ayam di Kota Bogor mogok berdagang, membuat pasokan ayam berkurang. Berdasarkan data yang didapat Dinas Pertanian, pasokan ayam untuk Kota Bogor berkurang hingga 75 persen.

Wakil Wali Kota Bogor, Usmar Hariman mengatakan, seiring mogoknya para pemasok ayam membuat pasokan ayam juga mulai berkurang. Tingginya harga ayam juga disinyalir penyebab langkanya ayam potong di pasaran.

"Saya sudah mendapatkan laporan itu, dimana dari 4 kandang hanya satu kandang yang terisi. Itu berarti pasokan ayam untuk ke Kota Bogor berkurang 75 persen," kata Usmar saat di Bogor, Rabu (19/8/2015).

Usmar menduga ada permainan kartel dalam pasokan ayam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pemasok ayam yang menahan pasokannya untuk di jual ke konsumen. Ia pun meminta pihak kepolisian untuk membongkar hal ini.

"Dugaan kartel bisa saja ada, karena banyak penahanan yang dilakukan pemasok. Untuk itu kita meminta polisi mengusut hal ini," jelasnya.

Kelangkaan ayam di Kota Bogor sudah terasa sejak hari Minggu (16/9/2015) lalu. Para pedagang dan pemasok ayam kompak mogok karena harga ayam potong yang melambung tinggi Rp 40 ribu sampai Rp 45 ribu.

Sebelumnya, pedagang ayam di sejumlah wilayah Jabodetabek menggelar mogok jualan. Harga ayam tinggi di tingkat pedagang pasar tradisional menjadi salah satu pemicu mogok tersebut. 

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI), Anton J Supit mengatakan, harga ayam potong tinggi di tingkat pedagang lantaran panjangnya mata rantai dari peternak hingga ayam sampai ke pasar. "Karena mata rantainya yang panjang hingga ke pasar," ujar Anton.

Dia menjelaskan, tingkat peternak sebenarnya harga normal ayam hidup hanya sekitar Rp 16 ribu-Rp 17 ribu per kg. Namun saat sampai ke pedagang, harga ayam bisa meningkat hingga lebih dari dua kali lipat.

"Harga daging normal Rp 16 ribu-Rp 17 ribu per kg hidup. Kalau dijual per ekor di farm (peternakan) Rp 20 ribu," lanjutnya.

Anton menilai, tingginya harga ayam ini justru tidak dinikmati oleh para pedagang maupun peternak. Harga daging ayam tinggi ini hanya dinikmati oleh pihak-pihak di dalam rantai distribusi.

"Yang untung itu mata rantainya. Jadi 80 persen-90 persen (keuntungan) di sana, di pasar modern itu 10 persen. Jadi jangan salahkan peternak. Ini belum untung sudah disalahkan," kata dia.

Anto juga menyatakan, para pengusaha telah mengeluhkan soal panjangnya rantai distribusi ini kepada pemerintah, namun hingga saat ini belum ada tindakan nyata yang dilakukan pemerintah.

"Itu panjang, tidak hanya satu. Ini yang harus dibenahi. Kita sudah minta pemerintah atur, maunya di tata kembali oleh Kementerian Pertanian. Ini karena ego sektoral," ujar Anton. (Bima Firmansyah/Gdn)