Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi sekaligus Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), A. Tony Prasetiantono menilai Indonesia tengah berada dalam situasi terjepit karena dihimpit beragam permasalahan ekonomi global. Akibatnya, dia memperkirakan ekonomi Indonesia bakal suram di tahun depan.
Tony mengatakan, harga minyak dunia saat ini turun drastis ke level US$ 41 per barel, sementara harga jual shale gas di bawah US$ 20 per barel.
Baca Juga
"Murah sekali. Rusia yang menderita, yang pesta Amerika Serikat (AS). Arab Saudi juga tidak masalah harganya di bawah US$ 20 per barel karena dia masih sanggup," ucap dia ditemui di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Rabu (19/8/2015) .
Advertisement
Dalam jangka pendek, Tony menuturkan, akan menguntungkan karena harga bahan bakar minyak (BBM) seperti Premium, Solar dan Pertamax turun. Namun, sambungnya, kekhawatiran muncul karena akan berdampak negatif bagi harga komoditas primer, yakni batu bara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang mengalami tekanan paling dalam.
"Dampak berikutnya menyeret harga komoditas primer, seperti batu bara, kelapa sawit yang paling anjlok. Ini ngeri," tegas Komisaris Independen Bank Permata itu.
Tony memperkirakan, pelemahan harga minyak dunia akan berlangsung lama akibat shale gas AS dan kesanggupan Arab Saudi memacu produksi meski ada tekanan harga.
"Celakanya harga minyak rendah bakal lama. Jadi boro-boro kembali ke US$ 70 per barel, naik ke harga US$ 50 per barel saja susah. Kita menunggu dulu," papar Tony.
Dia menggambarkan peta gejolak perekonomian di tahun depan. Kondisi tersebut, sambungnya, diperparah dengan langkah stabilisasi ekonomi China, Jepang dan Eropa yang diperkirakan saling tarik menarik.
"Kalau dilihat semua sentimennya, dihitung neracanya, masih bermasalah. Yunani pun sewaktu-waktu bisa meledak lagi jatuh temponya, devaluasi Yuan terus menerus akan menyebabkan perang kurs karena negara lain akan ikut-ikutan menurunkan mata uangnya," terang dia.
Tony pun meramalkan The Federal Reserves akan membatalkan kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini. Sebab kebijakan tersebut sudah didahului oleh devaluasi Yuan.
"Menurut saya tidak jadi tahun ini naikkan suku bunga karena kalau disesuaikan, malah naik kurs dolar AS. Justru melawan pasar, distance dengan Yuan makin jauh, makin rugi sendiri AS," jelasnya.
Kondisi perekonomian tersebut, menurut Tony, harus dipikirkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Dia menilai, kemungkinan harus ada RAPBN-Perubahan 2016 karena ekspor masih tertekan, surplus neraca perdagangan bukan yang sehat mengingat penurunan impor yang terjadi untuk barang modal atau investasi turun.
"Ini apesnya Pak Jokowi, kita benar-benar terjepit. Makanya jadi Menteri itu tidak enak sama sekali pokoknya," ucap dia.
Tony mengatakan, sebagai upaya penyelamatan fiskal di 2016 harus mengikuti cara Amerika Serikat (AS) pada 2008 silam yakni menggenjot belanja pemerintah. "Sumber pertumbuhan ekonomi masih dari konsumsi, salah satunya pemerintah harus meningkatkan daya beli masyarakat melalui investasi," pungkas Tony. (Fik/Ahm)